Nasional

Dialog ala Gus Dur Perlu Dicontoh untuk Selesaikan Masalah Papua

Sen, 5 Juli 2021 | 03:00 WIB

Dialog ala Gus Dur Perlu Dicontoh untuk Selesaikan Masalah Papua

Gus Dur dan masyarakat Papua (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Direktur Public Virtue Research Institute, Anita Wahid mengusulkan adanya ruang dialog antar berbagai elemen, terutama dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyikapi situasi dan kondisi di Papua. Menurutnya, dialog secara langsung pernah dicontohkan dan dilakukan oleh presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di masa kepemimpinannya.


“Gus Dur pada saat itu bersedia berdialog dengan langsung. Gus Dur mengajak dialog dengan semua orang dan kelompok, walaupun ada perbedaan. Dulu banyak kelompok yang menyatakan tidak percaya dengan pemerintah, tapi tetap didengar Gus Dur,” kata putri ketiga Gus Dur ini pada diskusi virtual bernama Weekend Talk yang diadakan Koalisi Kemanusiaan Papua dan disiarkan di YouTube Public Virtue Institute, Ahad (4/7).


Anita mengungkapkan bahwa dari dialog tersebutlah Gus Dur berhasil membangun kesepakatan dengan warga Papua dan mengambil jalan tengah dengan menghasilkan UU Otonomi Khusus tersebut.


“Otsus ini buah konsensus di antara kelompok-kelompok tersebut. Jika ada kepentingan yang belum dijembatani, maka bisa diakomodasi lewat pasal-pasal turunan. Tapi sayangnya ini tidak (pernah) terjadi,” kata Anita dalam diskusi bertema Rendahnya Tingkat Kebebasan Sipil di Papua dan Inkonsistensi Otonomi Khusus ini.


Alih-alih berhasil, bagi Anita, implementasi Otsus sendiri jauh dari tujuan untuk mengembalikan hak masyarakat Papua. Perlindungan sosial, politik, ekonomi, yang menjadi sasaran Otsus menurutnya sangat kurang. Malahan yang berkembang saat ini adalah Otsus direduksi dengan hanya fokus pada masalah anggaran saja, padahal ini persoalan perlindungan sosial.


Anita menekankan yang perlu dilakukan pemerintah saat ini terhadap masyarakat Papua adalah memberikan keadilan. Sebab keadilan adalah syarat mutlak terciptanya perdamaian. “Seperti kata Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan itu ilusi,” pungkasnya.


Sementara itu Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan, kualitas demokrasi di Papua berada pada posisi terburuk dibanding provinsi lain. Bahkan, agenda pelaksanaan demokrasi di Papua mengalami pembalikan dengan kembalinya resentralisasi kekuasaan ke pusat.


“Yang sekarang terjadi adalah resentralisasi. Misalnya dalam mengelola sumber daya alam atau dalam pemekaran wilayah. Kita harus kembali ke semangat desentralisasi politik dan otonomi khusus. Pemerintah harus menghormati tiga lapis hak orang Papua: universal, kewarganegaraan, dan adat. Itu semua harus dihormati lewat Otsus juga,” katanya.


Koalisi Kemanusiaan Papua sendiri adalah kemitraan sukarela yang pertama kali bekerja sama dalam kasus pembunuhan Yeremia Zanambani di bulan September 2020 dan selanjutnya bekerja sama untuk dapat memperbaiki kondisi hak asasi di Papua. Koalisi ini terdiri dari sejumlah organisasi dan individu, yaitu Amnesty International Indonesia, Imparsial, Elsam Jakarta, Kontras, Aliansi Demokrasi Papua, KPKC GKI-TP, KPKC GKIP, SKPKC Keuskupan Jayapura, Public Virtue Research Institute.


Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Muhammad Faizin