Nasional

Dekan Syariah dan Hukum UIN Jakarta Usul Perbaikan Permendikbudristek PPKS

Rab, 10 November 2021 | 01:45 WIB

Dekan Syariah dan Hukum UIN Jakarta Usul Perbaikan Permendikbudristek PPKS

. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta A Tholabi Kharlie usulkan perbaikan Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Jakarta, NU Online

Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi menuai polemik. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta A Tholabi Kharlie, memahami urgensi aturan yang tertuang dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 yang diteken Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, pada akhir Agustus lalu.


"Kami tentu apresiatif dan sangat memahami urgensi keberadaan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Inisiasi ini sebagai respons atas praktik kekerasan seksual yang marak di lingkungan perguruan tinggi," ujar Tholabi di Jakarta, Rabu (10/11/2021). 


Menurut dia, praktik kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi tidak dapat ditoleransi sedikit pun. Munculnya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, lanjutnya, harus direspons secara aktif oleh negara dan civitas akademika di perguruan tinggi. 


"Respons aktif itu bentuknya bermacam-macam. Mulai respons aktif perguruan tinggi dalam merespons peristiwa di internal kampus hingga dilakukan upaya due process of law kepada pelaku, termasuk pendampingan kepada penyintas, juga terkait keberadaan Permendikbudristek ini," imbuh Tholabi. 


Hanya saja, Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini menyebutkan respons pemerintah yang dituangkan melalui beleid yang diterbitkan oleh Permendikbudristek pada akhir Agustus lalu terdapat norma yang justru menimbulkan persoalan baru terkait dengan penormaan di permen ini. Hal ini yang kemudian menimbulkan reaksi publik yang cukup luas.  


"Definsi kekerasan seksual yang tertuang di Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, m secara terang-terangan menginstrodusir tentang konsep concent atau voluntary agreement, persetujuan aktivitas seks yang tidak dipaksakan. Dalam konteks norma yang dimaksud adalah larangan melakukan perbuatan seks tanpa persetujuan korban," papar Tholabi. 


Di norma berikutnya, beber Tholabi, yakni di Pasal 5 ayat (3) membuat kategorisasi tidak legalnya persetujuan aktivitas seks sebagaimana disebutkan di Pasal 5 ayat (2) bila korban dalam keadaan belum dewasa, di bawah tekanan, di bawah pengaruh obat-obatan, tidak sadar, kondisi fisik atau psikologis yang rentan, lumpuh sementara atau mengalami kondisi terguncang. "Konsepsi concent diadopsi penuh dalam belied ini. Di sini letak krusialnya," sebut Tholabi. 


Padahal, jelasnya, perdebatan serupa pernah terjadi saat pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang juga mengakomodasi konsep concent terkait dengan aktivitas seks. "Meski dalam draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang terbaru dari Baleg DPR, norma tentang consent ini makin berkurang jauh dibanding saat draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 ini seperti memutar kaset lama, ruang publik kembali gaduh. Ini yang menjadi kontraproduktif," sesal Tholabi. 


Tholabi mengusulkan agar Mendikbudristek dapat mengevaluasi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dan menyesuaikan ketentuan yang menjadi pemicu polemik di publik. Upaya ini semata-mata agar substansi yang ingin dicapai dari Permendikbudristek ini tidak menjadi bias dan misleading. 


"Saran saya sebaiknya segera dievaluasi dan diperbaiki. Aspirasi yang muncul di publik harus direspons dengan baik. Aturan yang baik dalam proses pembentukannya tentu harus melibatkan partisipasi publik yang sebanyak-banyaknya, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," ingat Tholabi. 


Terkait dengan konsep consent dalam kaitan hubungan seksual, sejatinya tidak dikenal dalam khazanah hukum di Indonesia. Konsepsi persetujuan lebih pada konteks relasi antara pasien dan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan atau terkait dengan hubungan keperdataan antarindividu.

 

"Mengakomodasi konsep consent dalam urusan hubungan seks, itu bertolak belakang dengan kaidah agama, kesusilaan, dan kaidah hukum yang dituangkan antara lain melalui UU Perkawinan," pungkasnya.

 

Editor: Syakir NF