Nasional HAJI 2024

Dai-Daiyah Disarankan Sampaikan Pesan Ini saat Mengisi Walimatus Safar Haji 

Kam, 22 Februari 2024 | 09:15 WIB

Dai-Daiyah Disarankan Sampaikan Pesan Ini saat Mengisi Walimatus Safar Haji 

Kegiatan Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji Profesiona, Rabu (21/2/2024). (Foto: NU Online/Mundzir)

Indramayu, NU Online 
Calon jamaah haji Indonesia yang mendaftar haji pada tahun 2024 harus rela bersabar mengantre 11 hingga 47 tahun. Selain mengantre panjang, biaya yang dikeluarkan semakin tahun semakin meningkat.

 

Oleh karena itu, para dai-daiyah harus mampu mendampingi calon jamaah haji dengan memberikan ilmu-ilmu yang bisa mendukung perjalanan haji mereka supaya perjalanan haji mereka bisa beruntung maksimal. 


Hal itu disampaikan guru besar ilmu sejarah peradaban Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon  Prof H Didin Nurul Rosidin saat memberikan pesan kepada dai-daiyah yang hadir pada acara Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji Profesiona, Rabu (21/2/2024). 


"Saya berharap, dai-daiyah ketika menyampaaikan ceramah dalam acara halal bihalal (walimatus safar haji) bisa menyampaikan kepada para jamaah bahwa di sana (Arab Saudi) terdapat situs ini, ada ini, ada ini, supaya para calon haji ini penasaran. Setelah penasaran, keluar ketakjuban saat sampai ke sana," jelasnya pada kegiatan yang digelar Lembaga Dakwah PBNU (LD PBNU) bekerjasama dengan Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Jawa Barat dan IAIN Syekh Nurjati di Asrama Haji Indramayu.  


Ia melanjutkan, para pembimbing haji yang mendampingi selama di Arab Saudi seharusnya tidak seperti guru yang mengajak anak TK ke museum. Selama dua jam masuk museum, anak TK hanya ditunjukkan fisik-fisik museum tanpa dijelaskan arti, spirit, dan pelajaran apa yang bisa dipetik.


"Jangan sampai ada orang sepuh yang bayarnya haji sudah mahal, menunggu lama, tapi ketika ditanya ‘Apa kesan Ibu tentang ibadah haji? Jawabnya ‘saya senang bisa mencium hajar aswad, saya senang bisa ini, bisa itu'. Itu bagus, tapi (saat ditanya) apa makna ibadah itu bagi Bapak? mereka tidak bisa jawab. Mereka hanya puas dengan mencium hajar aswad, seberapa banyak bisa umrah, berapa banyak liter minum air zamzam, tapi dampaknya apa pada keseharian mereka setelah pulang haji, tidak ada," tandasnya.  

 

Para jamaah haji perlu disambungkan dengan Nabi dan para sahabat. Caranya, pembimbing harus bisa menjelaskan situasi dan sejarah-sejarah yang ada di Makkah maupun di Madinah. Contohnya saat di Arafah, cuaca sangat panas, tempat sangat terbatas, tiap-tiap jamaah hanya mendapatkan tempat sekitar 90 cm. Bagaimana pembimbing bisa menjelaskan bahwa dahulu Nabi Muhammad dan para sahabat mengalami hal yang sama, namun panas itu justru membakar semangat mereka dalam berdakwah. 

 

Berbeda dengan saat di Madinah, bagaimana dengan dinginnya kota Madinah, Nabi Muhammad menyebarkan rahmahnya, bagaimana Nabi merawat komunitas Madinah yang beraneka ragam pemeluk agama namun bisa hidup berdampingan. 

 

Para ulama Indonesia terdahulu seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Kholil Bangkalan dan sejumlah ulama lain alumni Makah Madinah, dari sana mereka berhasil membawa spirit-spirit yang ada di sana dari sejarah komunitas geososial yang mereka rasakan. 

 

Terkait mempelajari situs-situs sejarah, menurut H Didin, para dai-daiyah atau mubaligh harus turun dan mendalami hal tersebut serta menyampaikan ke tengah masyarakat. Ia menyayangkan banyak pemandu (muthawif) yang tidak menyampaikan sejarah sesuai dengan data. 


"Kita kalangan sejarawan kesal. Betul. Ini yang saya alami. Muthowifnya itu 'asbun' (asal bunyi). Misalnya, saat di bus, muthawifnya bilang ‘Bapak/Ibu, lihatlah ke sebelah kanan! itu adalah sepeda Nabi Adam,’. Pertanyaan saya sejak kapan Nabi Adam punya sepada? Kalau Nabi Adam punya sepeda, mestinya ada sepeda Nabi Muhammad juga. Nah, inilah pentingnya suara Bapak/Ibu dalam menyampaikan sejarah di sana. Sebagian mereka tidak memakai filter ilmu pengetahuan,” tegasnya.