Nasional

Cerita Penyintas Tragedi Kanjuruhan, Bingung Biaya Cabut Pen hingga Belum Bisa Kembali Bekerja

Sab, 30 September 2023 | 18:00 WIB

Cerita Penyintas Tragedi Kanjuruhan, Bingung Biaya Cabut Pen hingga Belum Bisa Kembali Bekerja

Ilustrasi: warga berbondong datang dan berdoa di patung Singa Tegar untuk para korban tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang tahun lalu. (Foto: Antara)

Jakarta, NU Online

Satu tahun berlalu, penembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur yang menyebabkan huru-hara dan merenggut 135 nyawa manusia pada 1 Oktober 2022 lalu masih menyisakan dampak berat dan kesedihan mendalam bagi keluarga korban dan para penyintas.


Salah satunya, korban luka-luka tragedi Kanjuruhan hingga kini masih kesulitan untuk kembali bekerja lantaran terhalang keterbatasan fisiknya.


Bahu kanan Yogi Ade Aprelia patah karena terjatuh di Stadion Kanjuruhan. Akibatnya, ia haru s menjalani operasi pemasangan pen. Biaya operasi pemasangan memang gratis. Arema FC juga memberikan bantuan uang kepadanya.


Namun setelahnya, Yogi mengeluarkan uang sendiri untuk menebus obat dan keperluan lain setelah operasi. Kini Yogi bingung soal biaya pencopotan pen di bahunya. Akibat tragedi itu, Yogi tak bekerja kembali karena izin lebih dari tiga bulan pasca operasi. Yogi dulu bekerja di sebuah pabrik sambil menjalani kuliah.


Saat ini ia masih menunggu pen di bahu kanannya dicabut agar ia tak perlu izin jika sudah kembali bekerja.


Hal yang sama dirasakan oleh Vicky Hermansyah, penyintas tragedi Kanjuruhan asal Kesambi Porong, Sidoarjo. Sebelum tragedi terjadi, Vicky bekerja di sebuah pabrik kayu. Tepat 1 Oktober 2022 itulah Vicky genap setahun bekerja di pabrik kayu. Akibat kejadian itu, Vicky sempat koma dan belum bisa bekerja kembali. 


Vicky adalah tulang punggung keluarga kecilnya, Sumiarsih (Ibu dari Vicky) mempunyai lima anak. Dua di antaranya meninggal, dua lagi bekerja di Surabaya dan Vicky tinggal bersama orang tuanya. 


Setelah pulang dari rumah sakit, Vicky pernah dijanjikan bertemu dengan dengan para pemain Arema FC dan dijanjikan sebuah tanah pekarangan. Namun, janji itu urung diberikan.


Kehidupan Yuliwati berubah total sejak kehilangan putranya Bregi Andri Kusuma Anggi dalam tragedi kelam di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada Oktober tahun lalu.


"Saya belum bisa menerima kenyataan anak saya tak bisa hidup kembali," ujar Yuli.


Tidak adil

Tim pencari fakta yang ditunjuk oleh Presiden Jokowi menemukan bahwa polisi telah menggunakan kekuatan berlebihan dan menggunakan gas air mata secara membabi buta.

 

Manajemen stadion yang buruk, langkah-langkah keamanan dan keselamatan yang tidak memadai, dan kurangnya koordinasi antar pihak berwenang disebutkan sebagai faktor penyebab lainnya.


Pengadilan telah menghukum lima orang – tiga petugas polisi, penyelenggara pertandingan dan koordinator keamanan – karena kelalaian kriminal dan menjatuhkan hukuman penjara mulai dari satu hingga dua setengah tahun.


Pada 16 Maret, Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas dua dari tiga polisi yang didakwa telah menembakkan gas air mata yang berujung pada kematian lebih dari seratus orang. Lima bulan kemudian, Mahkamah Agung membatalkan vonis bebas dua polisi tersebut.


Dalam putusan kasasi pada 23 Agustus, majelis hakim menjatuhkan hukuman 2,5 tahun penjara kepada Wahyu Setyo Pranoto yang merupakan mantan Kepala Bagian Operasional Polres Malang dan vonis 2 tahun penjara kepada bawahannya, Bambang Sidik Achmadi, yang kala itu menjabat Kepala Satuan Kepolisian Resor Malang fungsi pengendalian masyarakat.


Yuli merasa hukuman yang diterima para pelaku sangat tidak sebanding dengan hilangnya nyawa dan kerugian yang diderita para penyintas.


Hingga kini, Yuli bersama orang tua dari korban lain masih berjuang dan menuntut keadilan kepada kepolisian atas peristiwa yang berpangkal dari tembakan gas air mata itu. 


"Saya sebagai ibu menuntut keadilan yang seadil-adilnya karena sampai sekarang kami belum mendapat keadilan yang sebanding dengan nyawa anak saya," tegas Yuli.