Nasional

Catatan Hairus Salim atas Buku 'Menatap Lukisan Gus Dur'

Kam, 30 September 2021 | 14:45 WIB

Catatan Hairus Salim atas Buku 'Menatap Lukisan Gus Dur'

Judul lukisan, “Semua Satu”, Cat akrilik di atas kanvas, ukuran 140 x 110 cm, tahun 2016. (sumber: Arif Wijayanto).

Jakarta, NU Online
Jaringan Gusdurian baru saja meluncurkan buku kumpulan esai berjudul ‘Menatap Lukisan Gus Dur’. Menariknya, para penulis esai di buku ini bukan hanya berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) atau orang-orang yang berasal dari Pulau Jawa. 

 

“Saya senang karena penulis buku ini tidak hanya orang-orang sekitar Ciputat atau Demangan Yogyakarta. Jadi agak sudah luas. Tidak hanya sekitar orang NU yang suka Gus Dur, tapi juga jauh melampaui itu. Juga bukan hanya dari Jawa, ada juga dari Toli-Toli, Pangkep, lalu ada juga dari Jambi,” kata esais Hairus Salim saat membersamai peluncuran buku ‘Menatap Lukisan Gus Dur’, Rabu (29/9/2021). 

 

Hal itu membuktikan bahwa Gus Dur tidak hanya dimiliki oleh orang Jawa dan NU saja tetapi juga disenangi, digemari, atau disukai oleh orang-orang di luar dari lingkaran itu. Inilah yang menjadi salah satu kelebihan buku ‘Menatap Lukisan Gus Dur’ itu. 

 

Tema tulisan-tulisan esai di dalam buku itu pun beragam, tidak hanya disempitkan pada wacana pluralisme atau sekadar dialog antaragama, tetapi terdapat beberapa tema lain yang menarik. Salah satunya, tema tentang lingkungan. 

 

“Saya jadi diingatkan bahwa Gus Dur pernah membuat moratorium penebangan hutan sampai 20 tahun. Sayang sekali karena Gus Dur jatuh, jadi tidak dijalankan. Moratorium itu jadi sangat penting sekali. Tapi sekarang, terjadi deforestisasi yang luar biasa. Hutan makin ditebangi,” kata Hairus yang didaulat sebagai editor buku tersebut. 

 

Tema lain yang menarik adalah mengaitkan Gus Dur dengan persoalan ekonomi. Hairus kembali diingatkan saat dirinya menjadi panitia sebuah acara diskusi di Yogyakarta yang membahas soal strategi menghadapi utang Indonesia. Panitia saat itu mengundang Gus Dur sebagai teolog untuk memberikan pandangan. 

 

“Saya punya transkrip ceramah Gus Dur. Menarik sekali pandangan Gus Dur tentang ekonomi utang negara,” tutur Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta itu.

 

Selain itu, ada pula tema tentang perempuan sehingga penulis di buku ‘Menatap Lukisan Gus Dur’ tidak didominasi oleh laki-laki. Karenanya, kata Hairus, masa depan penulis esai semakin beragam dan membahas tema-tema yang menarik. 

 

Namun akhir-akhir ini, di Indonesia terlalu banyak orang yang menulis esai tetapi sangat sedikit tulisan jurnalistik. Banyak tokoh yang seringkali melemparkan opini dalam tulisannya tetapi hanya sedikit yang mampu mengajukan fakta. 

 

“Nah maksud saya, menulis esai itu tidak sekadar keterampilan tapi harus punya basis pengetahuan yang juga harus kuat. Basis pengetahuan itu berasal dari riset, penelitian, membaca,” katanya. 

 

“Yang hilang menurut saya, dari wacana sekarang itu adalah sedikitnya tulisan yang bersifat jurnalistik. Dalam arti, orang yang ke lapangan lalu menulis tentang sesuatu yang dia temukan di lapangan itu sedikit. Kalau esai kan biasanya opini atau pendapat,” tambah Magister Antropologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.

 

Ia lantas menyarankan kepada para penulis esai agar sering-sering ‘belanja bahan’ dari berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat. Hal ini bertujuan agar para penulis esai mampu menguasai wacana dalam tulisan-tulisannya. 

 

“Jadi kita ini kan (sebagai penulis esai) sebenarnya antagonis bukan protagonis. Karena kita yang selalu pekerjaannya merespons. Jadi si pendesain atau perencana wacana itu adalah protagonisnya. Nah sekarang kita balik, kita harus menjadi protagonis,” katanya.

 

Terlepas dari itu, Hairus menegaskan bahwa gaya penulisan dari para penulis di buku ‘Menatap Lukisan Gus Dur’ itu sudah sangat bagus. Sebagian besar tulisan sudah menunjukkan cara berpikir yang sistematis dan logis dari para penulisnya. 

 

“Hanya ada satu-dua yang kelihatan agak loncat-loncat. Tapi secara umum, ini sangat sistematis dan logis ketika dikemukakan. Karena aktivitas menulis melibatkan pikiran dan bukan hanya soal keterampilan teknis. Tulisan yang baik menggambarkan cara berpikir yang juga baik,” pungkasnya.

 

Diketahui, buku ‘Menatap Lukisan Gus Dur’ ini merupakan kumpulan tulisan dari hasil lomba penulisan esai yang digelar Jaringan Gusdurian dalam rangka memperingati Harlah KH Abdurrahman Wahid, pada 2020 lalu.

 

Sejak gelaran lomba hingga penerbitan buku, dilakukan atas kerja sama Gusdurian bersama NU Online dan Islamidotco. Terdapat 30 tulisan esai yang berhasil dikurasi dan dikumpulkan menjadi satu buku dari ratusan naskah tulisan yang diterima Jaringan Gusdurian.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Zunus Muhammad