Nasional

Bulan Rajab Menanam, Sya’ban Menyiram, Ramadhan Memanen

Jum, 15 Juli 2016 | 20:01 WIB

Jepara, NU Online
Bulan Syawal merupakan sebuah kesuksesan besar yang dapat disebut sebagai yaumul ‘id atau hari Idul Fitri, yakni kembali pada naluri kesucian. Untuk mengetahui bagaimana sukses dalam peningkatan kualitas diri itu tidak lepas diawali dengan tiga bulan sebelumnya, yakni Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.

“Rasulullah bersabda; Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan bulan ummatku,” terang KH Ahmad Asnawi saat mengisi acara mauidhah hasanah dalam rangkaian Roadshow Pengajian 1 Abad Madrasah Qudsiyyah Kudus di lapangan desa Gemiring, Jepara, Kamis (14/7) malam.

Kiai Asnawi menerangkan bahwa Rajab itu bulan Allah, makanya Allah berkuasa menciptakan Isra’ Mi’raj sebagai peristiwa tersebar sepanjang sejarah kehidupan manusia di muka bumi.  “Allah membagi-bagi pahala yang luar biasa di bulan ini. Sampai-sampai apabila seseorang yang mau berpuasa sehari akan diberi minum bengawan Rajab,” ujarnya.

Kiai Madrasah Qudsiyyah yang ahli ilmu Balaghah ini menyebutkan bahwa Sya’ban merupakan bulan Nabi Muhammad. Makanya tidak ada selain bulan Ramadhan yang dipuasai Nabi Muhammad sebulan penuh kecuali bulan Sya’ban.

“Sedangkan Ramadhan itu bulannya umat Nabi Muhammad, padahal puasa Ramadhan sudah ada sejak umatnya Nabi Adam. Lalu mengapa Allah membuat istimewa Ramadhan setelah datang umat Nabi Muhammad,” tambah kiai Asnawi.

Dalam sebuah hadis menerangkan bahwa Rajab itu bulan menanam, Sya’ban itu bulan menyiram, Ramadhan bulan memanen. Kiai Asnawi memaknai, orang itu apabila pada bulan Rajab semangat ibadah, pasti Sya’ban tambah semangat, Ramadhan semakin tambah semangat.

“Karena orang menyirami itu lebih semangat daripada orang menanam, sedangkan orang memanen itu lebih semangat dibanding menyirami. Maka bisa di balik, apabila bulan Rajab kok tidak shalat, Sya’ban tambah parah, apalagi Ramadhan pasti tidak bakal puasa. Jadi tidak mungkin orang tidak menanam kok menyirami, lebih tidak mungkin lagi tidak menanam tapi memanen,” jelasnya.

Ia menilai bahwa orang yang sudah panen dinamakan Syawal yang bermakna peningkatan. Sedangkan Idul Fitri kembali ke naluri  kesucian seperti ketika orang itu keluar dari rahim ibunya.

“Sebab pada dasarnya manusia itu suci, makanya tidak ada bayi yang jahat,” ungkap Kiai Asnawi dihadapan ribuan masyarakat pada acara yang dihadiri pula oleh Habib Syekh bin Abdul Qadir As-Segaf.(M. Zidni Nafi’/Abdullah Alawi)