Nasional HARI MEDIA SOSIAL

Budaya Literasi Penting sebagai Penyeimbang Bermedia Sosial

Kam, 10 Juni 2021 | 02:45 WIB

Budaya Literasi Penting sebagai Penyeimbang Bermedia Sosial

Ilustrasi media sosial.

Jakarta, NU Online 

Perkembangan teknologi digital dewasa ini sangatlah cepat sehingga dapat lebih mudah dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat pengguna ponsel pintar. Namun, seiring dengan kemajuannya teknologi yang tak diimbangi dengan budaya literasi kerap menjadi jalan tersebarnya kabar bohong atau hoax dengan cepat.


Hal itu disampaikan Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Anita Hayatunnufus atau Anita Wahid dalam kesempatan wawancara bersama NU Online lewat sambungan telepon, Rabu (10/6).


Menurut Anita, pengguna sosial media harus menyadari bahwa masifnya pergerakan informasi dipengaruhi oleh pergeseran posisi individu yang semula hanya konsumen berubah menjadi pembuat sekaligus penyebar yang mengonsumsi informasi itu sendiri.


"25 tahun lalu kita hanya konsumen informasi saja yang dibuat oleh jurnalis lewat televisi, radio, dan koran. Nah, model informasi seperti itu jika ada kesalahan kita jelas membuat pengaduannya," ujar Anita.


Terdapat dua sisi dari kebebasan membuat informasi. Sisi positifnya adalah menguntungkan siapapun untuk membagi dan menerima informasi secara cepat, namun sisi lain memberi peluang bagi orang-orang berkepentingan mendulang keuntungan dengan menyebar konten yang kurang baik. 


"Motivasinya beragam. Ada yang memang bertujuan menebar kebencian. Ada juga yang ingin mengeruk keuntungan finansial. Bahkan ada juga yang berawal dari sebuah keisengan," terang Putri Ke-3 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.


Meningkatnya peredaran informasi hoaks di media massa disebabkan juga oleh campur tangan orang yang keahliannya tidak berdasar. Akibatnya perpaduan antara literasi yang rendah dan akses ke media sosial yang tinggi menimbulkan dampak yang luar biasa. 


"Otomatis kalau melihat itu sebagai sebuah virus maka kita sebagai penggunanya harus divaksin dengan memahami literasi digital, bernalar kritis, dan menguatkan pondasi nilai-nilai kehidupan," ungkapnya. 


Berbicara literasi digital bukan sekadar cakap dalam penggunaannya saja tetapi juga harus dibarengi dengan etika yang bisa memberi kenyamanan kepada setiap penggunanya. Dikatakan Anita, ada beberapa kompetensi yang wajib dipahami dalam berliterasi digital yaitu, kompetensi informasi, kompetensi kolaborasi-komunikasi, kompetensi etika, dan kompetensi keamanan. 


"Kesemuanya itu masih menjadi pekerjaan rumah bagi permasalahan literasi digital di Indonesia yang tidak merata," tuturnya. 


Lebih lanjut, Anita mengatakan, sasaran kabar bohong atau hoaks adalah sisi emosi setiap manusia. Ia menuturkan, karena emosi itulah yang menjadikan seseorang tidak sadar bila mereka termakan kabar bohong atau hoaks yang beredar di masyarakat. 


"Emosi kita dimanipulasi sedemikian rupa supaya begitu membacanya kita ada perasaan-perasaan tertentu yang muncul. Seperti curiga, marah, benci, dan khawatir itu semua yang sebetulnya membuat kita rentan terjebak ke dalam sebuah pengkubuan (polarisasi)," jelas Dia. 


Kontributor: Syifa Arrahmah 

Editor: Fathoni Ahmad