Nasional

Beberapa Pasal Krusial Hilang Setelah Nama RUU PKS Ganti jadi TPKS 

Sen, 13 September 2021 | 07:45 WIB

Jakarta, NU Online

Perubahan draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dinilai menghilangkan beberapa pasal krusial yang dapat mengesampingkan hak korban.


Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta, Kartini Laras Makmur, mengungkapkan secara filosofis RUU PKS mencita-citakan kondisi di mana kekerasan seksual dihapuskan, atau dalam artian segala bentuk upaya seseorang yang akan melakukan kekerasan seksual ditekan sehingga kekerasan seksual itu tak terjadi.


Namun cita-cita itu tak terkandung dalam RUU PTKS yang hanya menyoroti penindakan kekerasan seksual, tanpa juga berorientasi pada korban. “Ada beberapa terkesan kontradiksi dengan perubahan nama RUU TPKS, yang seharusnya semakin mengencangkan upaya penghapusan kekerasan seksual, justru malah mereduksi. Misalnya, kata perkosaan diganti jadi pemaksaan hubungan seksual,” ungkap Kartini kepada NU Online Ahad, (12/9/2021).


Ia menyebutkan, perubahan nama tersebut sekaligus mengubah makna filosofis dan bentuk peraturan dari upaya penghapusan kekerasan seksual. Pasalnya, Draf lama (RUU PKS) lebih komprehensif mengatur penanganan kekerasan seksual mulai dari pencegahan sampai pemulihan korban, termasuk tindak pidana, dan bagaimana pelaku bisa kembali ke masyarakat tanpa mencederai hak-hak korban, ini yang tidak diatur dalam RUU TPKS.


“RUU TPKS sepertinya hanya fokus pada tindak pidana saja. Ini pun jenis kekerasan seksual yang diakomodir jauh lebih sedikit dari yang termuat dalam RUU PKS,”ujarnya.


Dikatakannya, RUU TPKS lebih menyorot bagian penindakan hukum ketimbang upaya penghapusan kekerasan seksual di Indonesia. Hal itu terbukti dari beberapa pasal krusial yang hilang dalam RUU TPKS.


“RUU TPKS hanya menyebut pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual. Sementara kekerasan berbasis gender online dan empat bentuk kekerasan seksual lain dalam draft RUU sebelumnya tidak dimasukkan,” kata dia.


Perjalanan panjang RUU PKS

Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ditargetkan menjadi kado Hari Ibu yang diperingati pada 22 Desember. Mengenai rencana ini, Kartini, menyampaikan apresiasinya kepada DPR yang sudah mulai menampakan keseriusan dalam pengesahan RUU tersebut.


“Saya mengapresiasi DPR mengenai rencana pengesahan RUU PKS di Hari Ibu. Artinya dia punya target waktu yang jelas untuk segera mengesahkan di tahun ini,” tutur dia. 


Pasalnya, dijelaskan, RUU PKS menjadi sorotan publik sejak lama karena prosesnya panjang dan berlarut. Ide awal RUU ini diinisiasi oleh Komnas Perempuan pada 2012 dan baru empat tahun kemudian pada 2016 DPR baru meminta naskah akademik.


Selain perlu segera disahkan, dalam mengejar targetnya pun harus memperhatikan aspirasi masyarakat mengingat tidak semua hal terkait kekerasan seksual diatur dalam undang-undang. Sebab, masih terdapat kekosongan perlindungan hukum. Karenanya, landasan hukum yang komperhensif menjadi urgen dalam penanganan kasus kekerasan seksual terutama yang berpihak pada korban.


“Jangan sampai nanti yang disahkan jadi Undang Undang jauh dari semangat awal untuk menghapus kekerasan seksual di Indonesia,” katanya lagi.


Pasal-Pasal yang direduksi


Berikut beberapa pasal krusial dalam RUU PKS yang tak masuk di RUU TPKS:


Pertama, Bab II Asas dan Tujuan, Pasal 2-3

 

Pasal 2-3 membahas dasar-dasar penghapusan kekerasan seksual serta tujuan kekerasan seksual yang berorientasi pada korban.


Kedua, Bab III Ruang Lingkup, Pasal 4-10

 

Pasal 4-10 menjabarkan secara detail ruang lingkup penghapusan kekerasan seksual di sektor pendidikan, ruang publik, di lembaga pemerintahan, korporasi, hingga kekerasan seksual media sosial atau masyarakat.


Ketiga, Bab IV Pencegahan

 

Penghapusan Pasal 11 tentang kategorisasi kekerasan seksual. Beberapa terminologi kategori kekerasan seksual juga dihapuskan di antaranya Pasal 15 tentang pemaksaan aborsi, Pasal 17 tentang pemaksaan perkawinan, Pasal 18 tentang pemaksaan pelacuran, Pasal 19 tentang perbudakan seksual, dan Pasal 20 tentang penyiksaan seksual.


Keempat, Bab VI Hak Korban, Keluarga Korban, dan Saksi

 

Terdapat 22 pasal yang mengatur tentang hak-hak korban, keluarga korban, dan saksi yang tidak dicantumkan dalam RUU TPKS.

 

Beberapa di antaranya, yaitu hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan tak diatur rinci dalam RUU TPKS. Padahal dalam RUU PKS hak korban tertuang dalam Pasal 22-23.

 

Kemudian hak atas perlindungan yang diatur dalam Pasal 24-25, hak atas pemulihan dalam Pasal 26-31 juga tak tertuang dalam RUU TPKS:

 

Pertama, BAB IX Pendidikan dan Pelatihan, Pasal 80

 

Pasal 80 mengatur kewajiban pemerintah untuk menyediakan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum, petugas Pusat Pelayanan Terpadu (PTT), serta pendamping korban.


Kedua, BAB X Pemantauan Penghapusan Kekerasan Seksual, Pasal 81-82

 

Pasal 81-82 mengatur upaya penghapusan kekerasan seksual yang dilakukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).


Ketiga, BAB XIII Ketentuan Pidana

 

Pasal ini menjabarkan ketentuan pidana terhadap masing-masing kategori kekerasan seksual. Selain itu, terdapat pasal yang mengatur rehabilitasi khusus untuk terpidana kekerasan seksual.

 

Beberapa pasal hilang di antaranya Pasal 95-100 tentang aturan pemidanaan pada pelaku eksploitasi seksual; Pasal 105-107 tentang pemidanaan pemaksaan aborsi; Pasal 116-119 tentang pemidanaan pemaksaan perkawinan; Pasal 120-125 tentang pemidanaan pemaksaan pelacuran; Pasal 126-129 tentang pemidanaan perbudakan seksual; pasal 130-134 tentang pemidanaan penyiksaan seksual.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syakir NF