Nasional

Arahan Lengkap Gus Yahya di Rakernas Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama

Sel, 21 November 2023 | 22:00 WIB

Arahan Lengkap Gus Yahya di Rakernas Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama

Ketum PBNU Gus Yahya saat memberikan pidato arahan dalam Pembukaan Rakernas LP Ma'arif NU, pada Senin (20/11/2023). (Foto: Humas LP Ma'arif NU)

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf didaulat memberi pidato arahan dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) di Jakarta, pada Senin (20/11/2023).


Dalam kesempatan ini, kiai yang akrab disapa Gus Yahya itu mengurai sekaligus mengingatkan, setidaknya, tiga topik penting dan patut ditindaklanjuti, yaitu tentang Sistem Pendidikan Nasional Nahdlatul Ulama (Sisdiknas NU), Pendidikan di Zaman Serba Cepat, dan Nilai Mendasar Pendidikan NU. Berikut adalah transkrip pidato lengkap Gus Yahya dalam kesempatan tersebut.


***


Assalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh.

Alhamdulillāh wa syukrulillāh, was shalātu was salāmu alā Rasūlillah Sayyidina wa Maulana Muhammad ibni Abdillah, wa 'alā ālihii wa shahbihi wa man wālāh. Amma ba’ad.


Yang saya hormati, Wakil Ketua Umum Pak Nizar Ali, Wakil Sekjen Pak Najib Azka, Ketua LP Ma’arif Pak Ali Ramdhani, Ketua LPBI Pak Ace Hasan. Jajaran pengurus Ma’arif yang hadir pada kesempatan ini, dan juga jajaran pengurus lembaga-lembaga yang lain yang ikut hadir, fima ‘izzukum.


Alhamdulillah, saya senang bahwa LP Ma’arif konsisten di dalam menjalankan agenda reguler yang memang harus dilaksanakan, yaitu Rakernas secara tahunan, seperti yang dilakukan saat ini. Ini tentu satu hal yang menunjukkan bahwa roda LP Ma'arif memang sungguh berjalan, dan ini tentu harus menjadi rujukan bagi lembaga-lembaga yang lain yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama.


Sistem Pendidikan Nasional NU

Saya hanya ingin mengingatkan beberapa hal. Sebetulnya ini sudah dalam berbagai kesempatan saya sampaikan, khususnya kepada Pak Ali Ramdhani secara pribadi, bahwa kita ini memegang tanggung jawab untuk mengurusi, mengelola lembaga-lembaga pendidikan. 


Mengelola lembaga pendidikan itu tidak seperti sekadar menyelenggarakan jemaah tahlil atau manaqiban. Ini adalah kegiatan yang di dalamnya seharusnya terkandung strategi yang valid dan efektif, karena akan memiliki dampak yang luas dan panjang. 


Oleh karena itu, saya sampaikan sejak awal bahwa LP Ma'arif ini harus mampu membangun suatu Sistem Pendidikan Nasional Nahdlatul Ulama.


Tadi telah disinggung, disebutkan oleh Pak Ali Ramdhani, bahwa kita ini punya lebih dari 22.000 madrasah dan sekolah. Sekian banyak madrasah-sekolah ini tidak boleh dibiarkan beroperasi sendiri-sendiri, tanpa dijalin ke dalam satu sistem yang menyeluruh secara nasional. Oleh karena itu, kita membutuhkan upaya untuk membangun sistem nasional tersebut dengan beberapa komponen penting.


Yang pertama, kita harus punya desain yang valid tentang sistem nasional itu sendiri. Desain sistem nasional itu seperti apa? Kita harus mampu membangun desainnya secara valid. 


Pak Ali Ramdhani ini memang sengaja saya tunjuk untuk memimpin LP Ma'arif ini karena kita tahu, saya tahu dia ini Dirjen Pendis di Kemenag, dengan asumsi bahwa dia mengerti apa artinya sistem nasional untuk pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama ini, karena dia biasa mengurusi bagian dari tanggung jawabnya di Kemenag adalah mengurus sistem pendidikan yang ada di lingkungan Kemenag. 


Nah, ini desainnya, rancang bangunnya, harus ada dan harus valid. Artinya tidak asal-asalan, harus bisa dipertanggungjawabkan, dan memang desain yang dibutuhkan sesuai dengan realitas karakteristik dan juga dinamika yang berkembang di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama ini. Dan ini memang pekerjaan yang tidak sederhana; diperlukan data, diperlukan analisis yang akurat, dan; diperlukan untuk kemudian membangun satu rekomendasi mengenai desain yang valid tersebut. Biasanya, sistem seperti ini, ini tulang punggungnya adalah birokrasi.


Orde Baru membangun Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Jadi kalau kita sekarang menikmati sistem persekolahan yang teratur, yang tertib, yang rapi, seperti yang kita nikmati hari ini, ini sebetulnya adalah hasil karya dari Orde Baru, dari Pak Harto. Jadi walaupun banyak orang itu marah sama Pak Harto, karena memang banyak salahnya, tapi sebetulnya juga Pak Harto itu banyak jasanya, termasuk membangun Sistem Pendidikan Nasional ini. Dan kita tahu, bisa kita kita lihat dengan dengan kasat mata, bahwa tulang punggung dari Sistem Pendidikan Nasional Indonesia itu adalah birokrasinya.


Saya menginginkan bahwa LP Ma'arif mengembangkan ini, desainnya seperti apa. Kalau sudah punya desain, yang yang dibutuhkan kemudian adalah strategi untuk mewujudkannya. Karena ini tentu tidak bisa dilakukan seperti membalikan tangan, tidak bisa diselesaikan dalam semalam, tapi memerlukan satu strategi yang mungkin berjangka panjang. 


Saya ingin melihat bahwa LP Ma'arif punya strategi semacam itu. Ini yang pertama; Bagaimana membangun Sistem Pendidikan Nasional Nahdlatul Ulama. Kalau tadi disampaikan bahwa hari ini kita juga akan meluncurkan aplikasi digital untuk Ma'arif ini, saya kira itu salah satu instrumen yang bisa digunakan, bisa dipakai untuk strategi pembangunan sistem pendidikan nasional tersebut. Saya menyambut baik. Dan ini tentu nanti perlu terus-menerus di uji, dievaluasi, dikembangkan, supaya menjadi semakin kokoh. Ini yang pertama.


Pendidikan di Zaman Serba Cepat

Yang kedua, saya ingin ingatkan bahwa ada satu fenomena yang sekarang semakin kuat kita rasakan, yaitu bahwa masa depan itu datang menghampiri kita dengan cepat sekali. 


Saya sendiri merasakan. Saya ini dari generasi X, kelahiran antara tahun 1960 sampai dengan tahun 1980. Para pakar dulu suka mengatakan bahwa generasi X ini cenderung menjadi generasi yang hilang, karena generasi baby boomers kelahiran 1940 sampai 1960 masih produktif, dan kemudian sudah disusul oleh munculnya generasi milenial tahun kelahiran tahun 1980-an sampai tahun 2000. Jadi generasi saya ini, sebetulnya, harusnya menjadi generasi yang hilang. Alhamdulillah, saya tidak jadi hilang.


Dulu itu, tahun 1970-an 1980-an, saya merasakan masa depan ini begitu jauh, sehingga kita bisa hidup dengan tenang, dengan agak santai, enggak ada ketergesa-gesaan. Saya mulai masuk kuliah pertengahan tahun 1980-an, tahun 1984, dan saya merasakan enggak ada dorongan untuk, misalnya, cepat-cepat menyelesaikan kuliah, misalnya, tidak ada dorongan untuk melakukan akselerasi belajar dan sebagainya, karena masa depan itu terasa masih jauh sekali. Tenang saja. Jadi begitu. Santai kita, waktu itu. Apalagi bayar kuliahnya murah. Waktu itu saya sekolah di UGM, ini universitas top, dan SPP-nya itu setiap semester cuma 20.500. Jadi murah sekali. Maka kita tidak ada tuntutan untuk cepat-cepat. Santai sekali. Sampai akhirnya keterusan DO beneran, karena kita tidak merasa dikejar oleh apa pun, pada waktu itu.


Saya, misalnya, di lingkungan keluarga saya, yang termasuk keluarga elite di Rembang waktu itu, mulai mengenal pesawat telepon itu tahun 1960-an. Di Rembang waktu itu yang punya pesawat telepon cuma dua orang: Bupati sama kakek saya. Itu tahun 1960-an. Dan pesawat telepon yang seperti itu memang dulunya pakai engkol itu, kemudian pakai nomor puteran. Tapi itu masih dari jenis yang sama. Dan itu harus hidup dengan pesawat telepon macam itu sampai sekitar pertengahan 1990-an, bahkan sampai tahun 2000-an baru ada barang yang namanya handphone itu. Itu pun handphone yang gambarnya cuma nomor saja, enggak ada gambar apa-apa. Saya baru pertama kali punya handphone itu sekitar akhir tahun 1999. Tapi kemudian teknologi ini berkembang dengan cepatnya.


Sekarang kita punya handphone itu paling cuma tahan beberapa bulan, sesudah itu akan keluar model baru. Makin lama makin cepat perubahan itu terjadi. Dengan kata lain, masa depan itu menghampiri kita hari-hari ini dengan akselerasi yang luar biasa. Kadang-kadang kita masih gugup menyesuaikan diri dengan perubahan yang baru terjadi, tiba-tiba sudah datang gelombang perubahan yang baru.


Nah, oleh karena itu, Bapak Ibu sekalian, kita harus juga membawa fenomena ini, membawa pertimbangan mengenai fenomena akselerasi perubahan ini, ke dalam dunia pendidikan yang kita kelola, karena tanggung jawab kita kepada anak didik adalah mempersiapkan mereka untuk menghadapi hidup nantinya. 


Maka kita tidak bisa menyelenggarakan pendidikan, memberikan pengajaran yang stagnan, yang jumud, yang hanya berhenti pada satu model atau pola saja, tapi kita harus sungguh-sungguh mampu menyediakan pendidikan yang bisa mempersiapkan anak didik kita ini menghadapi masa depan yang begitu cepat datangnya itu. Dan ini juga bukan masalah sepele, karena ini akan terkait dengan kebijakan-kebijakan yang lebih luas, tidak hanya menyangkut sektor pendidikan saja, tapi juga menyangkut sektor-sektor kehidupan yang lain: ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lain sebagainya.


Kalau kita ingin sungguh-sungguh membawa pertimbangan tentang masa depan ini ke dalam model penyelenggaraan pendidikan kita, kita harus memiliki bukan hanya pemahaman kognitif atau intelektual terhadap dinamika percepatan perubahan itu saja, tapi kita harus memiliki elemen yang kuat di dalam mentalitas kita sebagai pendidik untuk memiliki passion kepada nasib anak-anak didik dari generasi baru ini, Generasi Z, yang harus kita persiapkan untuk bisa menghadapi masa depan dengan lebih kokoh, lebih kuat.


Maka, kita memang membutuhkan orang-orang yang bertanggung jawab atas pembuatan kebijakan, khususnya di sektor pendidikan ini, tapi juga untuk sektor-sektor yang lain yang memang bukan hanya memahami, bukan hanya mengerti secara intelektual tentang fenomena akselerasi perubahan-perubahan itu, tetapi juga secara mental memang terikat dengan aspirasi tentang kesiapan menghadapi masa depan itu.


Untungnya, Pak Ali Ramdhani ini belum tua-tua amat. Lumayan, kalau kawin lagi masih pantaslah, kira-kira. Cuma, itu prosedurnya katanya agak rumit pegawai negeri ini.


Saya sekarang ini, saya suami istri itu, kami berdua sama-sama dari generasi X, karena saya telat kawin dulu. Maka anak saya, empat orang, yang paling tua itu lahir di penghujung era milenial, di akhir era milenial tahun 1998, dan adik-adiknya semuanya generasi Z. Itu saja saya dan istri saya itu sering bingung menghadapi tingkah anak-anak kami sendiri ini, begitu susah memahami karena mereka dididik dengan lingkungan yang sama sekali berbeda, mereka diterpa dengan pengalaman-pengalaman yang sama sekali berbeda dari apa yang kami alami. Nah, ini memerlukan penghayatan yang sungguh-sungguh, supaya kita mampu dengan tepat merumuskan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak didik kita.


Ini berarti bahwa kita juga harus punya kelincahan di dalam mengelola kurikulum pendidikan yang kita pakai, harus ada bahasa Inggrisnya itu agility, jadi harus lincah di dalam mengelola kurikulum. Dengan kata lain, kita harus siap untuk secara lebih cepat melakukan antisipasi-antisipasi terhadap tren-tren perubahan yang terjadi dan kemudian menjadikannya pertimbangan di dalam penyusunan kurikulum, sehingga kurikulum itu sendiri, itu harus kita kelola sedemikian rupa, sehingga dimungkinkan untuk diperbaharui dalam jangka waktu yang yang lebih rapat.


Saya tidak tahu, mungkin kurikulum yang sekarang kita pakai hari ini, ini mungkin masih kurikulum yang dibikin 40, 50 tahun yang lalu, dan belum pernah berubah ke depan ini. Ini kalau terus kita lakukan, anak-anak didik kita ini tiba-tiba 5 tahun lagi mereka selesai pendidikan dan bingung melihat keadaan yang tidak cocok dengan pelajaran di sekolah, karena keadaan sudah berbeda sekali.


Berapa waktu yang lalu saya ngobrol panjang lebar dengan Pak Pratikno Mensesneg, yang dia ini mantan Rektor UGM. Dan kami bicara tentang kurikulum yang fleksibel, kurikulum yang lebih fleksibel. Saya lupa istilah yang dipakai waktu itu. Jadi dia berpikir tentang membangun artificial intelligence yang bisa menangkap tren perubahan masyarakat dalam jangka, misalnya, 5 tahun dan dari tren itu, kemudian merumuskan kurikulum-kurikulum untuk berbagai program pendidikan. Sehingga, misalnya ini, kita waktu itu bicara soal kurikulum perguruan tinggi memang. Jadi, misalnya bahwa kurikulum di perguruan tinggi itu, itu bisa berubah setiap 5 tahun. Bahkan mungkin jenis prodinya berubah, karena ada prodi yang 5 tahun lagi mungkin sudah tidak dibutuhkan, dan harus diganti dengan prodi yang lain yang akan dibutuhkan nantinya.


Kita, saya kira, harus mulai berbenah diri, supaya mampu menyambut kebutuhan-kebutuhan semacam itu. Karena hanya dengan itu kita bisa mempersiapkan anak didik ini supaya bisa berjalan seiring dengan kemajuan-kemajuan dan perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Nah, ini tentu punya konsekuensi-konsekuensi yang juga luas, termasuk ke dalam birokrasi itu sendiri.


Kalau tadi saya sebut bahwa Sistem Pendidikan Nasional tulang punggungnya adalah birokrasi, maka kemampuan untuk dengan cepat menyesuaikan diri itu juga harus masuk di dalam elemen yang fundamental dalam desain birokrasi atau desain sistem pendidikan nasional yang kita bangun. Jangan segan-segan untuk mengundang narasumber-narasumber dari luar lingkungan Nahdlatul Ulama, cari narasumber yang yang betul-betul bisa kita harapkan kontribusi dan rekomendasi-rekomendasi kebijakannya untuk kita. Dan jangan takut-takut, misalnya, untuk mengundang ahli-ahli dari penjuru dunia yang mana pun. Kita ini sudah tidak zamannya lagi khawatir tidak punya biaya, itu sudah tidak zamannya lagi [Tepuk tangan].


Kita ini memang, saya tahu ini mukanya kelihatan semua ini, seumur hidup ngirit terus. Kalau untuk NU hari ini sudah tidak zamannya ngirit. Kita harus lakukan yang terbaik, apa pun biayanya, berapa pun harganya, karena kita harus jadikan NU ini menjadi lebih baik, sebaik-baiknya.


Nilai Mendasar Pendidikan NU

Nah, yang terakhir, saya ingin ingatkan bahwa NU ini didirikan dengan mengembang nilai-nilai fundamental. Ini bukan hanya organisasi yang sekadar menjalankan berbagai macam kegiatan seperti organisasi-organisasi lainnya. Nahdlatul Ulama ini didirikan dengan mengemban nilai-nilai, dan nilai-nilai itu sangat fundamental. Dan bahkan nilai-nilai yang diemban oleh Nahdlatul Ulama itu yang paling mendasar sebetulnya terkait dengan Pendidikan, karena Nahdlatul Ulama ini adalah organisasinya ulama. Dan orang enggak bisa jadi ulama kalau tidak dididik lebih dahulu.


Jadi, nilai-nilai ke-Nahdatul Ulama-an itu pasti yang paling fundamental terkait dengan pendidikan. Nilai-nilai pendidikan dalam Nahdlatul Ulama itu adalah memandang pendidikan sebagai ikhtiar paripurna yang komprehensif, dengan kata lain pendidikan itu bukan hanya masalah kognitif. Ini berkali-kali saya singgung. Juga bukan hanya soal mengasah kapasitas intelektual dari anak didik, bukan hanya sekadar transfer pengetahuan. Tapi pendidikan itu, sekaligus, pada saat yang sama, juga merupakan ikhtiar untuk membangun kapasitas rohani dari anak didik.


Saya gambarkan berapa waktu yang lalu dalam salah satu kegiatan Kemenag, bahwa di lingkungan itu yang namanya mendidik itu tidak hanya mengajar, tidak hanya menyampaikan informasi-informasi tentang ilmu pengetahuan, tapi juga me-nyuwuk anak didik ini. Menyuwuk itu bahasa Indonesianya mendoai anak didik ini supaya kapasitas rohaninya berkembang. Dan justru di situ inti pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama soal kapasitas rohani ini, karena segala kapasitas yang lain itu sebetulnya berakar pada kapasitas rohani.


Oleh karena itu, saya juga ingin melihat bahwa di lingkungan LP Ma'arif ini, ini dikembangkan model pendidikan yang secara integral memasukkan komponen pengembangan kapasitas rohani bagi anak-anak didik. Dan ini eksistensial sekali, jangan sampai dilupakan, karena ini eksistensial sekali. Ini sebabnya, lembaga ini dinamai Lembaga Pendidikan Ma'arif. Tidak disebut dengan Lembaga Pendidikan Ma'alim, misalnya.


Tidak disebut dengan Lembaga Pendidikan Tarbiah, misalnya, tidak, tapi Ma'arif. Ma'arif itu dari asal kata 'arafa, yang berarti mengenal. Ma’arif itu jamak dari ma'rifat. Dan penggunaan paling banyak dari kalimah ma'rifat itu adalah untuk menyebut ma'rifatullah, pengenalan kepada Sang Pencipta. Maka pengetahuan yang kita ajarkan kepada anak didik, berbagai macam komponen pendidikan yang kita berikan kepada anak didik kita ini, semuanya harus berhulu dan bermuara kepada ma'rifatullah. Ini fundamental dan eksistensial. 


Tidak ada gunanya Nahdlatul Ulama punya lembaga pendidikan kalau tidak dibawa ke arah Ma'rifatullah. Karena dalam salah satu kitabnya yaitu Minhajul Abidin, Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, beliau mengutip satu riwayat yang konon berasal dari Nabi Nuh as yang pada waktu itu dalam suatu dialog dengan Allah Swt, menanyakan ”Apa ilmu yang manfaat itu? Ilmu apakah, ilmu bagaimanakah yang dianggap sebagai ilmu yang manfaat? Dan jawabannya bahwa “ilmu yang manfaat itu adalah ilmu yang memperkuat taqwallah, memperkuat takwa kepada Allah, memperdekat seorang murid kepada tujuan dari keberadaannya, yaitu Allah Swt.”


Maka ini harus dilembagakan di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan Ma'arif. Silakan dicari model yang cocok untuk itu. Mungkin bisa berbeda-beda, mulai dari Raudhatul Athfal, dari Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar, sampai Tsanawiah dan SMP sederajat, Aliyah dan SLTA yang lainnya, bagaimana model pendidikan ruhani yang cocok.


Saya yakin, Bapak Ibu sekalian ini orang-orang yang sudah mengenyam berbagai macam teori-teori pendidikan dan juga mengenyam pendidikan dari lingkungan pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan agama kita, sehingga saya percaya Bapak Ibu sekalian bisa merancang model untuk memasukkan elemen pendidikan kapasitas rohani ini di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan kita. Ini pesan yang ingin saya tekankan dengan tandas, supaya ada bedanya anak-anak yang dididik oleh Nahdatul Ulama dengan yang dididik di tempat lain.


Nah, ini juga akan menentukan bagaimana Nahdlatul Ulama ini sendiri, wajah Nahdlatul Ulama ini, di masa depan. Karena, saya kira, suplai suplai kader Nahdlatul Ulama harusnya paling banyak datang dari lingkungan lembaga-lembaga pendidikan Nahdlatul Ulama. Dan untuk beraktivitas, apalagi mengelola, bahkan lebih-lebih lagi memimpin Nahdlatul Ulama ini, kapasitas-kapasitas profan, kapasitas intelektual, keterampilan manajemen, keterampilan politik, dan lain sebagainya, itu tidak cukup, harus disertai dengan kapasitas rohani yang sungguh-sungguh bisa diandalkan. Kalau tidak, saya kira Nahdlatul Ulama yang begini raksasa ini tidak akan bisa diurus dengan baik.


Bapak Ibu sekalian yang saya hormati. 

Saya kira itu yang bisa saya pesankan atau saya ingatkan kepada Bapak Ibu sekalian. Semoga ini nanti bisa dituangkan di dalam hasil-hasil Rakernas LP Ma'arif kali ini. Tidak perlu harus menjadi sesuatu yang langsung sempurna, tapi paling tidak sudah dimulai diskusinya, atau dimulai program penyusunannya dengan penjadwalan yang jelas, target waktu dan timeline yang jelas, sehingga kita bisa punya harapan yang cukup pasti tentang kapan kita bisa mendapatkan konsep-konsep yang kita butuhkan itu. Kalau kita mampu melakukan semua ini, berarti kita telah meninggalkan legacy, meninggalkan atsar yang akan sangat strategis maknanya bagi masa depan Nahdatul Ulama nanti. Insyaallah.


Untuk itu, mari bersama-sama kita buka Rakernas LP Ma'arif tahun 2023 ini dengan Ummul Kitāb, yang kita hadiahkan kepada Baginda Rasulillah saw, kepada para arwah muasis Nahdlatul Ulama dengan niat tawasul, semoga ikhtiar-ikhtiar yang kita jalankan, maksud-maksud baik yang mendasari khidmah kita, semoga sungguh-sungguh dikaruniakan wujud oleh Allah Swt, kabul. Insyaallah.


Ila hadrati Nabiyyim Musthafa Sayyidina wa Maulana Muhammadin sallallaahu ‘alaihi wasallam, wa ilaa hadrati arwahi muassisi Nahdlatil Ulama, wa ila niyatil wushul, wal qabul, wa ijabati kulli suul, syaiun lillaah, Al-Faatihah.


Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq

Wassalāmualaikum warahmatullāh wabarakātuh.