Nasional

Ancam Kebebesan Pers, 19 Pasal Kontroversial di KUHP akan Digugat ke MK

Rab, 14 Desember 2022 | 13:15 WIB

Ancam Kebebesan Pers, 19 Pasal Kontroversial di KUHP akan Digugat ke MK

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Para pengurus AJI bakal mendatangi MK mengajukan gugatan judicial review tentang 19 pasal dalam KUHP yang dianggap mengancam kebebasan pers. (Foto: mkri.id)

Jakarta, NU Online 
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Erick Tanjung menyampaikan bahwa ada 19 pasal di KUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Salah satunya Pasal 240 tentang tindak pidana penghinaan kepada pemerintah, presiden, dan wakil presiden. 


“Pasal itu dinilai mengancam bahkan membahayakan kebebasan jurnalis, karena bersifat karet,” kata Erick, kepada NU Online, Rabu (14/12/2022).


Menurutnya, Dewan Pers seara resmi bakal mengajukan gugatan judicial review terhadap 19 pasal dalam KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Sebelum ke MK, sebelumnya kita juga sudah memberi masukan ke anggota dewan setiap fraksi di DPR,” ucapnya. 


Gugatan ini diajukan karena meskipun dalam nomenklatur KUHP tidak disebutkan secara tertulis wartawan atau jurnalis, akan tetapi bagi Erick keberadaan pasal-pasal karet tersebut tetap berbahaya bagi kebebasan media/pers. 


Selain pasal tersebut, ada juga larangan menghina lembaga negara, ditemukan pada Pasal 353 dan 354 yang tertuang dalam KUHP.


Pasal 353: 1. Setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.


2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.


3. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.


Di Pasal 354 di KUHP tertulis, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar yang memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".


Adapun Pasal 240 berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".


Selain Pasal 240, ada juga Pasal 241 yang menyasar pada orang-orang yang menyiarkan, menunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar di muka umum, memperdengarkan rekaman maupun menyebarluaskan dengan teknologi informasi yang sah dengan isi penghinaan dapat dipenjara 4 tahun penjara atau paling banyak pidana kategori V.


Terkait pasal 240, Erick menambahkan bahwa sejatinya pasal tersebut dapat menjadi boomerang bagi siapa saja, berbagai lapisan masyarakat. Sebab, objek dalam pasal tersebut meliputi pemerintah dari pusat hingga daerah. 


“Jadi, bukan cuma presiden dan wakilnya, melainkan camat, lurah, dan jajarannya juga masuk dalam kategori pemerintah yang sah dalam pasal 240 itu,” terangnya. 


Sehingga, sambung dia, pasal ini dikhawatirkan akan menjerat orang-orang yang mengkritik, terutama di media sosial. 


Untuk diketahui bersama, yang dimaksud dengan pemerintah dalam Pasal 240 mencakup presiden, wakil presiden, dan para menterinya, sedangkan lembaga negara mencakup DPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), serta Mahkamah Konstitusi (MK).


Sedangkan definisi tindakan menghina dalam KUHP adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan, atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah.


Definisi itu masih sangat multitafsir, sehingga membuat pasal-pasal itu berpotensi menjadi pasal karet dan jelas tidak sejalan dengan nilai demokrasi. Pemerintah seolah berupaya membatasi kritik hanya demi kenyamanan dan kepentingan penguasa. 


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Syamsul Arifin