Jakarta, NU Online
Akademisi Universtitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Amsar A Dulmanan menganggap Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa bukan solusi atas persoalan radikalisme di kampus. Bahkan, Permen tersebut dianggap dapat menimbulkan masalah baru dari simbolisasi politik yang masuk ke dunia akademik.
"Kebijakan itu tidak tepat karena akan terjebak pada pola kepentingan sosial politik yang menempatkan kampus sebagai market atas kepentingan-kepentingan politik dalam proses demokratisasi," kata Amsar di Jakarta, Jumat (2/11).
Bagi Amsar, dalam upaya pembinaan ideologi bangsa, kampus harus melakukan peneguhan dan penguatan basis nasionalisme dan bukan dengan cara memasukkan pemaknaan simbolistik lagi atas organ ekstra mahasiswa.
Pola pertambahan pemahaman edukasi tentang nasionalisme harus dimasukkan misalnya pada saat mahasiswa mulai memasuki dunia kampus. Mahasiswa harus disuguhi pemahaman edukasi atas sebuah prinsip tentang civil society dan pluralitas. "Jadi tidak hanya cukup pada satu mata pelajaran tentang kewarganegaraan," ucapnya.
Hal lain yang dinilainya penting untuk dikuatkan adalah basis akademis berdasarkan riset mendalam tentang keindonesiaan, juga mengarahkan seluruh metodologinya pada studi akademis yang komprehensif tentang basis penguatan yang mengarah pada keindonesiaan sebagai sebuah bentuk negara kesatuan yang memilih menjadi republik Indonesia.
"Jadi kampusnya haus didorong. Kampus tetap menjadi institusi akademis pada pola penguatan keindonesiaan, bukan menjadi institusi dari kelompok kepentingan atas mobilisasi basis masa di lingkungan kampus," jelasnya.
Lebih jauh, Koordinator Nasional Forum Komunikasi Gerakan Muda Nahdlatul Ulama (FK GMNU) ini mengajak Menristekdikti untuk melihat akar masalah radikalisme yang ada di Indonesia secara luas. Sebab ia mencurigai, benih-benih radikalisme telah dibangun sebelum seseorang memasuki dunia kampus, yaitu saat menjadi pelajar SMA, SMP, SD, bahkan sejak usia dini dari lingkungan tempat tinggalnya.
Amsar mengingatkan, jangan-jangan kampus hanya penyemaian dari inkubasi yang dibangun sebelum seseorang menjadi mahasiswa. Bisa jadi radikalisme sesungguhnya sudah dimasukkan menjadi indoktrinasi di level sebelumnya, yaitu tingkat SMA, SMP, SD bahkan di tingkat usia dini.
"Dia (pelaku yang mengindoktrinasi) menggunakan anggaran negara kemudian masuk mengatasnamakan pembinaan karakter keislaman di RW-RW, tetapi pola penyampainnya bersifat rasis, seperti Islam dan bukan Islam," katanya.
Oleh karena itu, untuk melakukan penguatan idelogi bangsa, pihak-pihak terkait seperti Kemendikbud, Kemenag, Kemenpora, dan Kemensos harus bersinergi sebab, bangunan anggaran yang digunakan selalu mengacu pada basis penguatan ideologi.
"Ya, itu kompleks. Harus dilihat di situ, bukan sebatas di instutusi kampus. Kampus itu hanya letupan dari penyemaian yang sudah dikondisikan," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir meneken peraturan menteri (Permenristekdikti) Nomor 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa.
Permenristekdikti tersebut di antaranya menetapkan bahwa Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) atau organ ekstra mahasiswa antara lain Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), hingga Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) diperbolehkan masuk kampus.
Pembinaan ideologi bangsa yang dimaksud menurut keterangan Nasir akan diwujudkan dalam bentuk Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB). Anggotaya terdiri atas perwakilan seluruh OKP atau organisasi ekstra kampus yang berada di perguruan tinggi masing-masing di bawah pengawasan rektor. (Husni Sahal/Kendi Setiawan)