Lingkungan

Masuki Kemarau, Masyarakat Diminta Perkuat Pengawasan Titik Gambut 

Kam, 30 April 2020 | 21:00 WIB

Masuki Kemarau, Masyarakat Diminta Perkuat Pengawasan Titik Gambut 

Ketua LPBINU M Ali Yusuf (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online
Beberapa pekan yang lalu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi musim kemarau akan berlangsung sejak pertengahan April-Mei bulan ini. Pada bulan tersebut telah terjadinya peralihan Angin Baratan (Monsun Asia) menjadi Angin Timuran (Monsun Australia) sehingga suhu atmosfer cenderung panas.  
 
Menurut BMKG, di wilayah Bali dan Jawa, musim kemarau sudah berlangsung sejak 3 pekan terakhir. Sedangkan untuk pulau Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan baru akan terjadi Mei 2020 ini. Puncaknya, kata BMKG, terjadi pada Juni sampai dengan Agustus 2020, pada bulan itu Monsun Australia sepenuhnya dominan di wilayah Indonesia. 
 
Merespons musim kemarau yang diprediksi terjadi Mei di Sumatera dan Kalimantan, di mana dua pulau tersebut terdapat gambut yang cukup luas yakni mencapai 22,5 juta hektare (7 provinsi, termasuk Papua). Maka, masyarakat yang tinggal di sekitaran lahan gambut diminta perkuat pengawasan titik api (hotspot) agar tak terjadi kebakaran hebat yang dapat merugikan semua pihak. 
 
Ketua Pusat Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Muhammad Ali Yusuf menuturkan, masyarakat harus menyambut kemarau dengan meningkatkan perawatan terhadap lingkungan sekitar terutama mereka yang tinggal di sekitaran lahan gambut di Indonesia. 
 
Menurut Ali, menjaga lingkungan lahan gambut dapat dilakuan dengan berbagai upaya misalnya melakukan pengawasan kepada titik api (hotspot) setiap hari dan dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Jika itu tidak dilakukan, potensi kebakaran di lahan gambut sangat besar mengingat kawasan gambut termasuk lahan yang mudah terbakar. 

"Menjaga lingkungan juga dapat dilakukan masyarakat dengan tidak melakukan membuka lahan dengan dibakar. Pun masyarakat juga harus mejaga lingkungannya agar tak terbakar pula. Karena kalau terbakar itu dampak yang akan panjang dan berdampak besar," katanya kepada NU Online, Kamis (30/4). 
 
Ali Yusuf menerangkan, gambut memiliki pengaruh besar untuk masyakat yang tinggal disekitarnya jika dimanfaatkan dengan maksimal misalnya diolah menjadi lahan produktif. Sebaliknya, jika tak diurus, saat musim kemarau akan mudah terbakar. 
 
"Kita harus sering-sering ngecek lingkungan apakah sudah ada tanda-tanda hotspot yang kebakaran seperti apa, apa yang masyarkat lakukan sekitar gambut akan berpengaruh kepada mereka  yang hidup di situ?" katanya.
 
Kebakaran hutan yang pernah terjadi akibat lahan gambut tahun 2015 silam, telah berdampak buruk terhadap ekonomi, kesehatan dan lingkungan ekosistem gambut. Harus ada langkah-langkah strategis dari masyarkat sendiri agar lahan gambut dapat dikendalikan. 
 
Paling penting, kata Ali Yusuf, agar gambu tak mudah terbakar, lahan gambut harus dijaga kadar airnya. Sebab, gambut tidak akan terbakar jika dilakukan pengecekan setiap hari oleh masyarkat serta melaporkannhya kepada pihak berwenang. 
 
Di Indonesia, pemilik lahan gambut terbesar adalah Papua dengan luas 6,3 juta ha. Kalimantan Tengah (2,7 juta ha), Riau (2,2 juta ha), Kalimantan Barat (1,8 juta ha) dan Sumatera Selatan (1,7 juta ha). Selain itu ada Papua Barat (1,3 juta ha), Kalimantan Timur (0,9 juta ha) serta Kalimantan Utara, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan yang masing-masing memiliki 0,6 juta ha.  
 
Badan Restorasi Gambut (BRG) Republik Indonesia sendiri sebagai lembaga yang bertugas mempercepat pemulihan dan pengembalian fungsi gambut yang rusak, terutama akibat kebakaran dan kekeringan telah memperkenalkan sebuah platform bernama Pranata Informasi Restorasi Ekosistem Gambu (PRIMS) akhir tahun 2019. 
 
Platform atau media yang bisa diakses secara online melalui situs http://prims.brg.go.id/. Situs tersebut memberikan  informasi terkait kondisi lahan gambut di seluruh wilayah Indonesia, termasuk yang sedang direstorasi dan titik api yang aktif. 

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori 
Editor: Kendi Setiawan