Internasional

Prof Etin Anwar Ungkap Penyebab Keterbatasan Karier Perempuan Indonesia

Sab, 18 September 2021 | 08:30 WIB

Prof Etin Anwar Ungkap Penyebab Keterbatasan Karier Perempuan Indonesia

Prof Etin Anwar di salah satu sudut ruang kerjanya di Amerika Serikat. (Foto: Dok. FB Etin Anwar)

Jakarta, NU Online
Pakar Kajian Sosial Islam, Prof Etin Anwar, mengungkapkan kondisi perempuan Indonesia dalam berkarier masih banyak memiliki keterbatasan. Berdasarkan data World Economic Forum menyebutkan, gender gap (kesenjangan gender) Indonesia berada di peringkat 85. 


Menurut Profesor di Hobart and William Smith Colleges, New York, Amerika Serikat ini, dari data tersebut dapat diketahui bahwa career choice (pilihan karier) atau career orientation (orientasi karier) di Indonesia masih sangat rendah.


“Dalam keterbatasan itu, kita harus melihat genealogi karier yang dalam buku saya itu dibagi dalam lima era, yaitu era emansipasi, asosiasi, pembangunan, integrasi, dan proliferasi,” ungkap Etin dalam bedah buku karyanya berjudul Feminisme Islam yang diinisiasi Perpustakaan Balitbang Diklat Kemenag RI, Jumat (17/9/2021).


Ia menyebutkan, di tengah masyarakat patriarkal, masih relatif banyak orang yang melarang perempuan Muslim berkarier dengan dalih interpretasi agama. Apalagi sesudah menikah, masih ada perempuan yang justru dianjurkan untuk berdiam di rumah dan mengurus kerja-kerja domestik saja, alih-alih bebas memilih sendiri.


“Di politik, keterwakilan perempuan di jabatan kepemimpinan di pemerintahan minim. Di bidang pendidikan, jumlah dosen yang diangkat menjadi dekan atau rektor [perempuan] juga masih sangat sedikit,” kata cendekiawan Muslim kelahiran Tasikmalaya,  4 Agustus 1967 ini.


Padahal, lanjut dia, era emansipasi adalah awal era promosi pendidikan di Indonesia. Perempuan mulai mengembangkan karier dan memperluas peran publik mereka dengan tokoh perempuan pionir di bidang pendidikan, seperti RA Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El Yunusiyyah. 


“Dari sinilah perempuan yang tadinya tidak mengenyam pendidikan, dapat bersekolah karena dulu pendidikan hanya untuk Belanda dan kaum aristokrat saja,” terang doktor di bidang riset Philosophy, Interpretation, and Culture Binghamton University ini.


Gerakan perempuan
Selanjutnya, era asosiasi. Dalam era ini, dikatakan, ekspansi ruang publik bagi perempuan cukup besar yang didorong melalui ajaran agama, seperti melalui fastabiqul khairat atau ajakan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. 


Etin Anwar mengatakan, pada era tersebut, Budi Utomo, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah menciptakan gerakan perempuannya sendiri, termasuk Putri Mardika, Muslimat NU, dan Aisyiyah. 


“Perempuan di era tersebut terlibat dalam penyebaran dakwah ajaran Islam yang penting dalam hubungannya dengan jaringan karier karena perempuan mendapatkan exposure ke pendidikan,” lanjut Etin. 


Kemudian, masuk ke era pembangunan ditandai dengan meningkatnya jumlah orang yang memiliki pendidikan dan pilihan karier yang lebih beragam. Hasil era pembangunan sendiri bisa dilihat dari banyaknya jumlah SD Inpres.


Akan tetapi, kata Etin, meski bisa dibilang karier perempuan meningkat, pemerintah memaksakan ideologi gender atau atas nama kodrat. 


“Perempuan diberikan kesempatan untuk menjadi agen pembangunan, tapi dibatasi pada peran dalam keluarga. Hal inilah yang kemudian kita kenal dengan domestifikasi perempuan atau yang lebih dikenal sebagai ibuisme dalam istilah Julia Suryakusuma," terangnya. 


Promosi karier
Lalu di era integrasi, promosi karier yang ia namakan islamic sphere jadi area publik. Artinya, area publik berangsur-angsur berorientasi pada agama Islam atau islamic oriented (orientasi Islam). Dia menilai, tahapan itu tidak lepas dari munculnya 'hijau royo-royo', yakni politik orde baru yang memiliki keberpihakan pada umat Islam. 


“Maka kemudian muncullah Islamic Banking, Islami Management, Islamic this, Islamic that,” jelas pemilik karya Gender and Self in Islam itu.
 

Era terakhir adalah proliferasi. Era ini mempromosikan pengalaman perempuan dan agensi perempuan sebagai ethical beings (makhluk yang wajib memiliki etika, red). Hubungan semaraknya pendidikan Islam serta integrasi kelompok sekuler dan Islam, kata dia, memicu kemunculan gerakan pembaharuan Islam yang dimotori tokoh-tokoh, seperti Cak Nur, Gus Dur, dan lainnya. 


“Mereka berkontribusi pada diskusi-diskusi mengenai perempuan dan diskusi ini sangat penting karena mereka menyejajarkan perempuan sebagai ethical agent (agen etika)," katanya lagi. 


Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pandangan Islam tidak pernah menarasikan kebenaran mutlak mengenai karier perempuan.


“Terus terang saja, menurut saya ini ada kaitannya dengan budaya kodrat,” tegas Anggota Board of Advisor untuk American Institute for Indonesian Studies itu. 


Etin menambahkan, narasi-narasi patriarki seperti itu biasanya muncul lewat pola pengasuhan atau pengajaran di lingkungan sekitar.


“Sejak zaman Soeharto, kita sudah dicekoki nilai-nilai keibuan dan pernikahan. Seolah kalau kita tidak menjadi ibu atau menikah, ada yang kurang atau something wrong with us,” pungkasnya. 


Kontributor: Syifa Arrahmah 
Editor: Musthofa Asrori