Nasional

Dunia Internasional Didorong Perhatikan Nasib Perempuan dan Anak di Afghanistan

Sel, 14 September 2021 | 08:30 WIB

Dunia Internasional Didorong Perhatikan Nasib Perempuan dan Anak di Afghanistan

Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Dwi Rubiyanti Kholifah. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Dwi Rubiyanti Kholifah menegaskan, dunia internasional tidak boleh membiarkan rakyat Afghanistan, khususnya perempuan dan anak mengalami kesengsaraan, serta menanggung dosa politik.


Ia mengatakan, dunia internasional haruslah memastikan bahwa di bawah bentuk pemerintahan apapun, rakyat Afghanistan membutuhkan dukungan untuk pemenuhan hak hidup. Anak-anak perempuan bisa bersekolah di publik, perempuan mendapatkan kebebasan dalam bekerja dan menentukan pakaian yang cocok buat mereka.


“Sebagai bagian dari dunia internasional bahwa apa yang terjadi di Afghanistan menjadi bagian dari konsen kita semua. Rakyat Afghanistan, khususnya perempuan dan anak serta kelompok minoritas memiliki hak sebagai manusia untuk hidup dan merasakan kebebasan,” kata Ruby pada acara Open Mic Sikap Indonesia untuk Perlindungan Perempuan di Afghanistan, beberapa waktu lalu.


Ia menyebutkan, kebebasan dapat tercapai lewat relasi kemanusiaan, berkaca dari Indonesia sebagai negara majemuk dengan segala macam keberagaman agama dan budaya. Karena itu, Ruby mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan stimulus kepada Afghanistan agar dapat memberi perlindungan bagi rakyatnya, terkhusus perempuan dan anak, serta kelompok minoritas.


“Saya yakin (Indonesia) sebagai negara berpopulasi muslim terbesar di dunia, dengan komitmen demokrasi yang kuat dan pondasi moderasi beragama yang kuat dan dihidupi rakyatnya, Indonesia bisa berbuat lebih besar untuk rakyat Afghanistan,” ujar Anggota Majelis KUPI itu.


Hal itu mendasari alasan Ruby, mengingatkan kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia mengambil hikmah dari peristiwa Afghanistan agar supaya dijadikan cermin untuk tetap merawat nilai-nilai keberagaman serta nilai moderasi dalam beragama.


“Apa yang terjadi di sana hendaklah menjadi cermin bagi kita semua sebagai bangsa besar untuk merawat Pancasila dan juga merawat Islam Indonesia sekaligus mengoreksi kekurangan kita dalam hal pemenuhan HAM di berbagai macam bidang,” Ruby berpesan.


Terakhir, ia berharap acara tersebut dapat menjembatani suara-suara masyarakat di berbagai penjuru dunia yang konsen terhadap isu-isu kemanusiaan untuk memandang penting kejadian di Afghanistan.


“Kami (AMAN) berharap betul suara genuine (tulus) dari masyarakat yang melihat bahwa ada kedukaan dan kelukaan di tempat lain menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita. Maka dari itu, melalui acara ini kami berharap betul, tidak hanya pemerintah Indonesia tetapi juga pemerintah dunia mulai menata relasi ke depan dengan Afghanistan,” harapnya.


Sebagai Informasi, mengutip Reuters, pada Sabtu (4/9/2021), tercatat setidaknya 17 orang terbunuh dan 41 orang luka-luka akibat aksi tembakan yang terjadi di Kabul, Afghanistan. Tembakan tersebut merupakan tembakan perayaan, setelah Taliban mengklaim berhasil merebut satu-satunya daerah Afghanistan yang belum ditaklukkan, Lembah Pansjhir.


Beberapa kejadian seperti di atas semakin membenarkan asumsi orang bahwa Taliban tidak bisa dipercaya. Di saat yang bersamaan, kejadian di atas bertolak belakang dengan janji Taliban yang disampaikan pada konferensi pers pertama, Kamis (19/8/2021) lalu. Juru bicara Afghanistan. Dalam konferensi pers tersebut, akan menghormati dan memuliakan perempuan, memberikan amnesti kepada semua orang.


Akan tetapi, dari berita yang dihimpun, seorang perempuan berprofesi sebagai ginekolog dan bekerja di rumah sakit di Kabul berkata mereka tidak terganggu oleh kekacauan politik. Bahkan, Taliban juga berjanji akan melindungi perempuan tapi dalam kerangka syariah islam. 


Di Afghanistan, terdapat 250 kursi di parlemen, sebanyak 27% merupakan kursi untuk perempuan. Pada pemerintahan sebelumnya, terdapat 69 perempuan yang menjadi anggota parlemen.  Namun tidak ada perempuan dalam hierarki Taliban dan belum jelas apakah mereka akan membentuk pemerintahan yang inklusif.


Baru-baru ini, Taliban bahkan memasang tirai di ruang kelas untuk memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, tak ada pejabat perempuan di kabinet baru pemerintahan Afghanistan yang dikuasai Taliban. Ketika berkuasa dulu, ada banyak lagi aturan Taliban yang mengekang perempuan. Bahkan perempuan tak boleh bertemu teman laki-laki di atas 12 tahun.


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad