Nasional

Beban Ganda hingga Perceraian Mengintai Perempuan selama Pandemi

Jum, 17 September 2021 | 13:00 WIB

Beban Ganda hingga Perceraian Mengintai Perempuan selama Pandemi

Ilustrasi: Pandemi Covid-19 berpeluang mengikis keharmonisan dan menyebabkan komunikasi tidak efektif yang kerap menghantui perempuan pada perceraian.

Jakarta, NU Online
Psikolog keluarga dan pegiat kesetaraan gender, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid (Alissa Wahid) mengatakan, perempuan merupakan kelompok yang cukup rentan terdampak pandemi.

 

"Banyak sekali yang muncul, ibu-ibu marahin anaknya either anaknya lagi ngadepin laptop, lagi ngerjain tugas. Dapet (lihat) nggak bapak-bapak yang ngajarin anaknya? Nggak dapet, kan? Padahal kan sama-sama di rumah. Ini jadi persoalan yang penting," kata Alissa pada tayangan wawancara di Youtube Department of Politics and Government, Universitas Gadjah Mada beberapa waktu lalu.

 

Koordinator jaringan Gusdurian tersebut mengatakan, tak berhenti pada beban ganda, keharmonisan yang terkikis dan komunikasi yang tidak efektif kerap menghantui perempuan pada perceraian. Ia membeberkan data perceraian di Indonesia yang setiap tahun dikatakan selalu mengalami kenaikan angka.

 

Disebutkannya data pertama yakni data perceraian di Indonesia tahun 2007. Data perceraian saat itu menembus tujuh persen dari angka 2,6 juta pasangan tiap tahunnya. Data kedua ia kemukakan pada tahun 2017, setiap harinya terdapat sekitar seribu perceraian di Indonesia. Jika ditotal, angka perceraian yang keluar di tahun tersebut adalah 365,000 pasangan. Data terakhir adalah data perceraian tahun 2019 yang berada di sekitar 460,000 pasangan bercerai.

 

"Tahun 2019 angkanya itu sekitar 460,000. Satu dari empat. Jadi, ada satu pasangan bercerai, ada empat pasangan menikah di tahun yang sama. Dan, angka ini meningkat terus,” jelasnya. 

 

Kasus perceraian ini seraya meningkat selama pandemi, lantaran kondisi keluarga yang 'sakit' salah satunya karena relasi antara pasangan suami-istri yang tidak baik. Mirisnya, kasus perceraian ini masih dianggap sebagai bentuk dari gerakan kesetaraan gender yang kebablas. Sebaliknya, apabila ditinjau secara lebih dalam, hal ini justru terjadi sebab kurangnya keadilan pada keluarga.  

 

“Fondasi dari bangunan keluarga yang kokoh itu keadilan. Hubungan relasi yang adil antara pasangan suami-istri ini. Kalau relasinya adil, maka dia (keluarga) kondisi lagi jatuh pun akan tetap berjalan, tangguh. Tapi kalau sebelumnya sudah tidak adil, goncangan sedikit saja, ambruk sudah itu,” jelas Alissa.

 

Sementara itu hasil survei Menilai Dampak Covid-19 terhadap Gender dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia menyebutkan bahwa dibanding laki-laki, perempuan adalah kelompok lebih rentan terdampak pandemi. 

 

Hasil survei yang diunggah pada laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Republik Indonesia itu mengungkap, secara keseluruhan bahwa perempuan adalah pihak yang lebih terbebani dibandingkan laki-laki, seperti rentan kehilangan mata pencaharian dan mendapatkan beban ganda.

 

Temuan lainnya adalah sebanyak  82 persen perempuan mengalami penurunan sumber pendapatan, lantaran banyak perempuan di Indonesia yang bergantung dari usaha keluarga. Sebanyak 80 persen laki-laki juga mengalami penurunan. Meski demikian, mereka mendapatkan keuntungan lebih banyak dari sumber pendapatan.

 

Berikutnya, sebanyak 36 persen perempuan pekerja informal harus mengurangi waktu kerja berbayar mereka dibandingkan laki-laki yang hanya 30 persen mengalaminya. 

 

Pembatasan sosial telah membuat 69 persen perempuan dan 61 persen laki-laki menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sebanyak 61 persen perempuan juga menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengasuh dan mendampingi anak dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 48 persen. Angka tersebut menunjukkan perempuan memikul beban terberat. 

 

Selain itu, sebanyak 57 persen perempuan mengalami peningkatan stres dan kecemasan akibat bertambahnya beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan, kehilangan pekerjaan dan pendapatan, serta mengalami kekerasan berbasis gender. Sedangkan jumlah laki-laki yang mengalami permasalahan tersebut yaitu 48 persen.

 

Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa|
​​​​​​​Editor: Kendi Setiawan