Internasional

Ketika Dunia Dikejutkan Cuaca Ekstrem Mematikan

Jum, 30 Juli 2021 | 09:45 WIB

Ketika Dunia Dikejutkan Cuaca Ekstrem Mematikan

Petugas pemadam kebakaran melakukan evakuasi banjir di Schuld, Jerman, yang merusak bangunan hingga jalan. (Foto: EPA via BBC)

Jakarta, NU Online

Cuaca ekstrem mematikan melanda sejumlah negara seperti Jerman dan China yang baru-baru ini dilanda banjir bandang yang menewaskan ratusan orang. Bencana tersebut sebelumnya tidak pernah terjadi selama puluhan tahun terakhir.


Banjir mematikan yang melanda China dan Jerman telah memperingatkan masyarakat dunia bahwa perubahan iklim membuat cuaca menjadi lebih ekstrem di seluruh dunia.


Sedikitnya 25 orang di Provinsi Henan, China tengah, tewas pada Selasa (20/7) lalu termasuk belasan orang yang terjebak di kereta bawah tanah kota saat genangan air memenuhi ibu kota wilayah Zhengzhou, yang dipicu oleh hujan deras selama berhari-hari.


Dilansir dari VOA Indonesia, banjir besar di China dipicu hujan lebat yang terus turun berhari-hari.


Akibat hujan lebat itu, air menggenangi jalan-jalan di seluruh ibu kota provinsi itu, Zhengzhou membuat pengendara terdampar. Mereka terpaksa menempuh banjir setinggi pinggang yang menenggelamkan atau menghanyutkan banyak mobil.


Di Jerman, banjir besar menewaskan setidaknya 160 orang dan 31 orang lainnya di Belgia dua pekan lalu. Bencana tersebut telah memperkuat pesan bahwa perubahan signifikan harus dilakukan untuk mempersiapkan peristiwa serupa ke depannya. Pemerintah Jerman menyoroti pemanasan global sebagai penyebab bencana tersebut.


Di Eropa, perubahan iklim kemungkinan akan meningkatkan jumlah badai besar yang dapat bertahan lebih lama di satu area dan menimbulkan banjir seperti yang terlihat di Jerman dan Belgia, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada 30 Juni dalam jurnal Geophysical Research Letters.

 


Saat atmosfer menghangat dengan perubahan iklim, ia juga menahan lebih banyak kelembaban, yang berarti bahwa ketika awan hujan muncul, lebih banyak hujan akan datang.


Pada akhir abad ini, badai seperti itu bisa 14 kali lebih sering terjadi, menurut para peneliti dalam sebuah penelitian yang menggunakan simulasi komputer.


Banjir yang merusak sebagian besar bangunan di Jerman barat dan selatan, dan banjir mematikan di China, kedua kasus tersebut menyoroti kerentanan daerah berpenduduk padat terhadap bencana banjir dan bencana alam lainnya.


Dikutip dari BBC, hujan dan banjir pada pertengahan Juli lalu juga melanda beberapa negara Eropa barat lainnya, di antaranya Belgia dan Belanda. Hujan lebat menyebabkan sungai meluap dan menghanyutkan rumah serta kendaraan.


Informasi mutakhir menurut laporan DW, Sedikitnya 209 orang tewas di Jerman dan Belgia. Upaya pemulihan rumah, bisnis, dan infrastruktur yang rusak diperkirakan menelan biaya miliaran euro.


Di Kawasan Asia, tidak hanya terjadi di China, tetapi juga di India dan Bangladesh. Hujan turun sangat lebat, bahkan lebih deras dari yang biasanya turun di musim hujan. Para ilmuwan memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan curah hujan yang lebih sering dan intens, karena udara yang lebih hangat menahan lebih banyak air, sehingga menciptakan lebih banyak hujan.


Tidak hanya negara-negara di Eropa barat dan utara, Inggris juga dilanda banjir bandang. Beberapa bagian London dibanjiri oleh air yang naik dengan cepat karena hujan lebat dalam satu hari. Stasiun kereta bawah tanah dan jalan-jalan juga terendam banjir.

 


Menurut Wali Kota London Sadiq Khan dikutip dari DW, banjir bandang menunjukkan bahwa “bahaya perubahan iklim kini bergerak lebih dekat ke rumah.”


Sementara itu, bencana alam tidak hanya berupa banjir bandang, tetapi cuaca panas ekstrem. Sementara negara-negara di Eropa utara mengalami banjir, negara di bagian selatan seperti Yunani justru dicengkeram oleh gelombang panas di awal musim panas. Di pekan pertama bulan Juli, suhu melonjak hingga 43 derajat Celcius. Tempat-tempat wisata seperti Acropolis terpaksa ditutup pada siang hari, sementara panas ekstrem memicu kebakaran hutan di luar kota Thessaloniki.

 

Sementara itu, Sardinia dilanda kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Ini adalah kenyataan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Sardinia,” kata Gubernur Sardinia Christian Salinas tentang kebakaran hutan di sana.


“Sejauh ini, 20.000 hektare hutan yang mewakili sejarah lingkungan selama berabad-abad di pulau kami telah hangus menjadi abu," tambahnya. Sedikitnya 1.200 orang dievakuasi akibat kebakaran tersebut.


Sardinia adalah pulau terbesar kedua setelah Sisilia di Laut Tengah. Sardinia terletak di antara Italia, Spanyol dan Tunisia, di sebelah selatan Pulau Korsika. Sardinia memiliki status regioni otonomi Italia. Ibu kotanya ialah Cagliari.


Cuaca panas juga terjadi di Kawasan Amerika Serikat dan Kanada. Suhu yang semakin panas menjadi lebih umum terjadi. Seperti di negara bagian Washington dan Oregon di AS dan Provinsi British Columbia di Kanada pada akhir Juni lalu. Ratusan kematian terkait suhu panas dilaporkan terjadi di sana. Desa Lytton di Kanada bahkan mencatat suhu tertinggi hingga 49,6 Celcius.


Sementara itu, Brasil bagian tengah dilaporkan mengalami kekeringan terburuk dalam 100 tahun, sehingga meningkatkan risiko kebakaran dan deforestasi lebih lanjut di hutan hujan Amazon.


Menurut para ilmuwan, sebagian besar wilayah tenggara Amazon telah berubah fungsi dari yang awalnya menyerap emisi, kini berubah menjadi memancarkan emisi CO2, menempatkan Amazon lebih dekat ke ‘titik kritis’.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon