Internasional

Australia Adalah Darul Islam, tapi Bukan Daulah Islamiyah

Rab, 14 Agustus 2019 | 00:00 WIB

Australia Adalah Darul Islam, tapi Bukan Daulah Islamiyah

Usai cermah, Kiai Harisudin berpose bersama dengan PCINU Australia

Sydney, NU Online

Walaupun selama ini Australia dikenal sebagai negara sekuler, namun sesungguhnya cukup ramah terhadap Islam. Bahkan perlakuan pemerintah Australia terhadap umat Islam, membuat negara itu bisa dikategorikan sebagai Darul Islam.

Demikian disampaikan Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember, Kiai MN Harisudin saat menjadi nara sumber dalam Kajian Islam dengan tema Mengaji Fikih Kontemporer di rumah tokoh NU, Ustadz Emil Idad, Sydney Australia, Selasa (13/8).

 

Menurutnya, dalam rujukan fikih disebutkan bahwa wilayah yang didiami umat Islam dan mereka dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, itu disebut sebagai Darul Islam.

 

“Nah, Australia kita lihat umat Islam dapat menjalankan agamanya dengan baik. Masjid didirikan di banyak tempat. Hemat saya, itu memenuhi kriteria Darul Islam,” tukasnya sebagaimana rilis yang disampaikan kepada NU Online

 

Walaupun demikikan, terma Darul Islam tidak sama dengan model pemerintah Islam atau Daulah Islamiyah sebagaimana dibayangkan oleh kelompok pengusung khilafah. Sebab negara khilafah yang mereka cita-citakan bercirikan formalisasi ajaran-ajaran Islam dalam hukum positif dan ketatanegaraan.

 

“Kalau seperti tidak ada (di Australia), dan di Indonesia juga ditentang,” jelasnya.

 

Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) se-Indonesia tersebut menambahkan, jika dalam praktik berislam terdapat kesulitan-kesulitan, maka itu merupakan suatu hal yang tak terhindarkan. Dalam konteks ini, umat Islam di Australia dapat menggunakan pendapat berbagai madzhab fikih. Sebab inti dalam beragama Islam adalah ketaatan dan kepatuhan pada Allah Swt.

 

“Di Australia, kita mau madzhab mana saja silahkan; dengan catatan tahu ilmunya, tidak sekedar mengambil mudahnya dan mencari yang paling bermaslahat, serta dalam koridor ketaatan dan kepatuhan pada Allah Swt,” ungkapnya.

 

Menurut pandangan Kiai Harisudin, hal terpenting dalam berislam adalah ketaatan dan kepatuhan pada Allah Swt. Pahala yang diberikan kepada hamba-Nya bergantung pada kadar kepayahannya dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Semakin payah dan sulit, pasti pahalanya juga lebih banyak sebagaimana Hadits Nabi Muhammad SAW, Al’ajru biqadritta’abi.

 

“Kalau sedikit payah, maka pahalanya juga lebih sedikit. Kalau shalat subuh di masjid Sydney lebih payah dan berat, tentu pahalanya juga lebih besar. Di sinilah, hemat saya, salah satu ujian ketaatan dan kepatuhan kita pada Allah Swt. ”, urainya.

 

Di bagian lain, Katib Syuriyah (demisioner) PCNU Jember tersebut menyatakan bahwa Australia telah menerapkan Maqashidus Syari’ah (tujuan-tujuan syari’ah). Hal ini bisa dilihat misalnya dari penerapan denda untuk orang yang melanggar lalu-lintas. Dendanya beragam antara 114 dolar, hingga 457 dolar. Satu dolar Australia kurang lebih Rp. 10.000,-

 

“Tujuannya agar orang jera dan tidak melanggar lalu lintas. Lalu, terbangun keteraturan. Ini ‘kan sesuai syariah Islam. Demikian juga, penghapusan domestic violence yang menjadi perhatian pemerintah Australia. Juga transparansi keuangan publik Pemerintah Australia yang semuanya dalam hemat saya, sangat sesuai dengan maqasidus syari’ah “, ungkapnya.

 

Ia menambahkan, langkah maju pemerintah Australia juga dapat dilihat dari penerapan pajak tinggi terhadap orang-orang yang berpenghasilan tinggi. Sebaliknya, pajak rendah bagi yang penghasilan rendah atau bahkan tidak ada pajak.

 

“Kalau pengusaha kaya raya ditarik 40 persen, ini ‘kan luar biasa. Kaila yakuuna duulatan bainal aghniyaii minkum. Agar supaya perputaran harta tidak di kalangan mereka saja. Pemerintah Australia sudah jauh menerapkan pajak setinggi ini. Bandingkan dengan pemerintah Indonesia,” pungkasnya.

 

Pewarta : Aryudi AR