Internasional

Arab Saudi Reformasi Sistem 'Kafala' yang Disebut Kebijakan Perbudakan

Sel, 24 November 2020 | 09:05 WIB

Arab Saudi Reformasi Sistem 'Kafala' yang Disebut Kebijakan Perbudakan

Wakil Menteri Abdullah Abuthunain. (Foto: Reuters via BBC)

Jakarta, NU Online

Pemerintah Arab Saudi mengumumkan akan mereformasi sistem kerja yang memberikan para majikan kendali penuh atas hidup dari 10 juta pekerja migran, dikutip BBC. Kebijakan ini akan membolehkan pekerja swasta untuk berganti pekerjaan, dan meninggalkan negara tanpa harus mendapat izin dari majikan.


Pemerintah Saudi mengatakan sedang berusaha untuk memperbaiki dan meningkatkan efisiensi di lingkungan kerja. Kelompok hak asasi manusia mengatakan sistem "kafala" (perjanjian kerja antara pekerja migran dan majikan menjadi sponsor di Saudi) saat ini membuat pekerja rentan mendapatkan kekerasan dan eksploitasi.


Seorang aktivis menggambarkan langkah reformasi yang diambil pemerintah Saudi ini sangat berarti, tapi memperingatkan bagian-bagian sistem tersebut masih ada. Karenanya, mereka menyerukan agar sistem tersebut dihapus sepenuhnya.

 

Baca juga: Enam Upaya Pemerintah Indonesia Lindungi Pekerja Migran


Menteri Sumber Daya Manusia Arab Saudi mengatakan, Inisiatif Reformasi Tenaga Kerja yang diluncurkan pada Rabu, akan diterapkan kepada semua pekerja asing di sektor swasta dan akan berlaku Maret 2021.


Para pekerja tersebut tidak lagi diminta memperoleh izin majikan untuk pergi atau berganti pekerjaan. Mereka juga bakal diperbolehkan bepergian ke luar negeri tanpa perlu mendapatkan izin majikan.


Mereka pun bisa melamar pekerjaan secara langsung ke layanan pemerintah, dan kontrak dengan majikan akan didokumentasikan secara digital.


"Melalui prakarsa ini, kami bertujuan untuk membangun sebuah pasar tenaga kerja yang menarik, dan meningkatkan lingkungan kerja," kata Wakil Menteri, Abdullah bin Nasser Abuthunain kepada wartawan di Riyadh.

 

Baca juga: Pemerintah Berharap Pekerja Migran Bisa Belajar dari Kasus Ety di Saudi


Dia mengatakan, reformasi kebijakan ini juga membantu mencapai Visi Saudi 2030, yaitu rencana mendiversifikasi ekonomi yang bergantung pada minyak.


Peneliti senior Human Rights Watch, Rothna Begum, mengatakan kepada BBC, pengumuman kementerian itu signifikan dan dapat memperbaiki kondisi pekerja migran. "Namun, ini tidak menghapus sepenuhnya sistem kafala," ucap Begum.


Begum mengatakan, pekerja migran tampaknya masih harus memiliki majikan yang bertindak sebagai sponsor mereka untuk memasuki Arab Saudi, dan majikan akan tetap memiliki wewenang memperbarui atau membatalkan izin tinggal bagi pekerja migran kapan saja.


"Ini artinya, para pekerja migran masih dapat menghadapi pelecehan dan eksploitasi selama majikan memegang kuasa atas mereka," kata Begum.

 

Baca juga: TKI Ety Berhasil Pulang ke RI, Kiai Said Apresiasi Upaya NU Care-LAZISNU


"Terlebih lagi, reformasi kebijakan ini tampaknya tidak berlaku bagi pekerja migran domestik yang bekerja di dalam rumah tangga, yang merupakan pekerja paling rentan di negara itu," imbuhnya.


Begum mengatakan Human Rights Watch telah mendokumentasikan sejumlah majikan yang memaksa pekerja rumah tangga untuk bekerja dengan jam kerja yang panjang tanpa mendapatkan istirahat atau libur, tak membayar upah, atau mengurung mereka di dalam rumah. Sejumlah pekerja rumah tangga bahkan pernah mengalami kekerasan seksual dan fisik.


"Di sana juga terdapat ratusan ribu pekerja migran tanpa dokumen di Arab Saudi, dan pihak berwenang belum mengatakan apakah mereka mengizinkan pekerja semacam itu. Banyak dari mereka tanpa dokumen bukan karena kesalahan mereka sendiri, untuk dapat mengatur status mereka, termasuk menemukan majikan yang baru," tandasnya.


Pemerintah Arab Saudi berencana mereformasi kebijakan sistem kafala. Namun, aktivis buruh migran menilai rencana ini akan percuma bila tak menyentuh sektor pekerja domestik yang digambarkan sebagai "mempertahankan perbudakan".

 

Baca juga: Dapat Amnesti Pemerintah Yordania, 50 Pekerja Migran Pulang ke Tanah Air


Sejumlah buruh migran Indonesia yang bekerja di sektor rumah tangga masih mendapat pelecehan dan eksploitasi, memilih kabur dan hidup terkatung-katung di negara dengan sistem hukum syariah Islam ini.


Sementara itu, pemerintah Indonesia mengatakan telah bekerja sama dengan Arab Saudi untuk menghapus sistem kafala, tapi penerapannya dihentikan sementara karena pandemi virus corona.


Tentang Sistem Kafala


Menurut laporan lembaga internasional Migrant Forum in Asia dikutip dari BBC, sistem Kafala membuat para pekerja migran secara hukum terikat pada pemberi kerja atau sponsor individu/majikan (kafeel) untuk periode kontrak mereka.


Karena terikat kontrak, pekerja migran tak bisa memasuki negara, pindah kerja, atau meninggalkan negara dengan alasan apa pun tanpa izin tertulis dari kafeel.

 

Baca juga: PCINU Arab Saudi Harap Menaker Tingkatkan Perlindungan Pekerja Migran


Sistem ini muncul pada era 1950-an yang mengatur hubungan antara majikan dan pekerja di banyak negara Asia Barat. Praktik yang dilakukan negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di antaranya Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, dan juga di negara-negara Arab di Yordania dan Lebanon.


Tujuan awal dari sistem kerja ini, menyediakan tenaga kerja sementara dengan cepat ketika ekonomi negara memuncak, dan mengeluarkan mereka ketika ekonomi sedang lesu.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon