Internasional

Alasan di Balik Keputusan Sepihak Donald Trump atas Yerusalem

NU Online  ·  Selasa, 9 Januari 2018 | 14:00 WIB

Alasan di Balik Keputusan Sepihak Donald Trump atas Yerusalem

foto: Yuri Gripas / Reuters

Jakarta, NU Online
Mantan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk situasi Hak Asasi Manusia kawasan Palestina Makarim Wibisono menilai, keputusan sepihak Presiden Amerika Serikat Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel disebabkan menurunnya popularitas Trump di dalam negeri.

Sebelumnya, presiden-presiden Amerika Serikat yang baru terpilih memiliki tingkat popularitas yang tinggi pada tahun pertamanya seperti Barack Obama (65 persen), George Bush (60 persen), dan Bill Clinton (70 persen). Namun popularitas Trump pada tahun pertamanya menjadi presiden adalah di bawah 30 persen. Inilah yang menyebabkan Trump untuk melakukan sebuah gebrakan.  

“Dia itu di bawah 30 persen. Pada saat terpilih agak naik, sekarang tahun pertama turun 30 persen,” kata Makarim kepada NU Online di Jakarta, Selasa (9/1).  

Selain itu, Mantan Duta Besar RI untuk PBB ini menyebutkan, sebelumnya Trump tidak pernah menjabat sebagai seorang pejabat. Trump adalah seorang pebisnis yang sukses sehingga ia memerintah negara seperti seorang pebisnis mengatur bisnisnya.

“Kalau bisnis, kok saham saya turun semua, saya harus coba gebrak apa gitu biar naik (popularitasnya). Karena dia tidak pernah memerintah, maka yang dipikirkan adalah resiko pribadi saja,” jelasnya.

Akibat dari keputusan Trump ini, Amerika Serikat dikucilkan di dalam voting Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU PBB) pada Kamis, 21 Desember tahun lalu. Sebanyak 128 negara menentang langkah Amerika Serikat yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, 35 negara abstain, dan sembilan –termasuk Amerika Serikat dan Israel sendiri- mendukung keputusan Trump tersebut. Bahkan, 14 dari 15 anggota tetap Dewan Keamanan PBB pun menentang keputusan sepihak Trump.

“Boleh dibilang dia dikucilkan. Waktu voting 14 lawan satu, cuma dia (Amerika Serikat) sendiri,” ungkapnya.

Status Yerusalem merupakan jantung konflik yang tidak berkeseudahan antara Israel dan Palestina. Israel menduduki Yerusalem Timur dan menjadikannya sebagai ibu kota yang tidak bisa ditawar lagi. Sementara Palestina menganggap Yerusalem Timur adalah ibu kota negara masa depan mereka. (Muchlishon Rochmat)