Internasional

Adakan Pesantren Kilat Ramadhan, PCINU Jerman Bedah Kiai Hasan Maolani di Pengasingan

Sab, 30 Maret 2024 | 13:00 WIB

Adakan Pesantren Kilat Ramadhan, PCINU Jerman Bedah Kiai Hasan Maolani di Pengasingan

Secarik profil tentang Kiai Hasan Maolani atau Eyang Lengkong. (Foto: dok istimewa)

Jakarta, NU Online

Kiai Hasan Maolani yang masyhur dikenal Eyang Hasan Maolani adalah seorang ulama sufi kharismatik yang hidup di abad-19. Lahir di Desa Lengkong, Kuningan, Jawa Barat pada 21 Mei 1782 dan wafat di Kampung Jawa Tondano, Sulawesi Utara pada 30 April 1874.


Dalam memperluas khazanah ilmu Sejarah peradaban Islam di Nusantara, PCINU Jerman mengadakan Pesantren Kilat Ramadhan dalam program Kajian Tematik Seri Khazanah Ulama Nusantara Surat-Surat Kiai Hasan Maolani, Kuningan, dari Tanah Pengasingan Kolonial Belanda.


Hadir sebagai narasumber Ustadz Muhammad Nida Fadlan dan puluhan peserta kajian yang diselenggarakan via Zoom Meeting dan Live on Facebook PCINU Jerman pada Rabu (27/3/2024), pukul 16:30 CET/22:30 WIB.


Pada abad 19, banyak lahir perang yang melawan kolonialisme Belanda. Salah satunya, perang maghrib atau perang Diponegoro. Sebutan maghrib bermakna bahwa perang terjadi di waktu maghrib berkisar pukul 18.25-18.30 WIB.


Perang ini paling membekas sampai membuat Belanda mengalami Islamofobia dan melahirkan gerakan sweeping yaitu memata-matai kiai kampung, karena gerakan perang itu lahir dari kiai kampung, salah satunya adalah Kiai Hasan Maolani.


“Yang menjadi penghambat dalam proses penjajahan Belanda adalah kiai, karena dianggap menyebarkan aliran sesat dan paling banyak pengikutnya. Sehingga dulu ada intelijen Belanda yang bertugas menyelidiki Kiai kampung, kemudian menangkap dan diasingkan ke pulau yang jauh dari kampung halamannya, keluarga dan umatnya,” ucapnya yang juga Alumni Pondok Pesantren Buntet, Cirebon.


Tahun 1840, Kiai Hasan Maolani diasingkan ke Kampung Jawa Tondano. Di sana Kiai Hasan tetap menyebarkan agama Islam dan berkarya. Dalam pengasingannya, Kiai Hasan menulis 14 surat kepada keluarganya di Desa Lengkong, Kuningan.


“Kumpulan surat beliau diberi judul Surat-surat Eyang Hasan Maolani, Lengkong yang diterbitkan ketika haul kemarin. Surat-surat tersebut ditulis menggunakan Bahasa dan aksara Arab bercampur Bahasa Jawa dan pegon. Ini dianggap sebagai strategi untuk menghindari pemeriksaan ketat pihak kolonial Belanda,” jelasnya.


Isi surat tersebut menceritakan tentang alur perjalanan pengasingan Kiai Hasan Maolani beserta rombongan yang dilakukan oleh Belanda. Berikut sepenggal isi dari surat Kiai Hasan Maolani.

 

Maka ini adalah Sejarah perjalanan kakek kita, Syeikh Hasan Maolani, dari kampungnya menuju kampung yang jauh sekali yaitu kampung Jawa, kota Tondano, Manado. Dan kiai mengatakan: ketika aku keluar dari rumahku di desa Lengkong, Kuningan di hari Kamis, bulan safar di waktu ashar tahun 1840.


Setelah diculik, kemudian dikurung di benteng Cirebon selama 3 bulan. Kemudian dibawa lagi, berhenti di Batavia. Dikurung lagi di Batavia selama 9 bulan, setelah itu diberangkatkan ke Batavia di waktu ashar pada Selasa, 12 Safar 1359.


Setelah dibawa ke Betawi, dibawa ke pulau Ternate tanggal 1 Mulud, kemudian sampai transit lagi ke wilayah Manado pada hari Ahad selama 100 hari. Bertempat tinggal bersama orang Islam yang pada saat itu masih memelihara babi dan masih banyak orang Nasrani. 


“Jika disimpulkan Alur perjalanannya dimulai dari Lengkong, kemudian dipenjara di Benteng kota Cirebon, lalu ke Batavia dan lanjut ke Pulau Ternate. Kemudian menuju Penjara Tua Kema yang merupakan rumah kecil seluas 32 meter dan diisi oleh 63 orang, salah satunya adalah Kiai Mojo dan rombongan Kiai masyhur. Selanjutnya menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam menuju Kampung Jawa Tondano,” tuturnya.


Para Kiai meskipun dalam pengasingan dan jauh dari umat, mereka mampu beradaptasi dan membangun peradaban baru disana. Salah satu strategi dakwah yang digunakan adalah menikah lagi dan mengislamkan suku-suku lokal. Sebab dalam pengasingan, para kiai bebas melakukan apapun dan diberi gaji, asalkan mereka tidak meminta pulang.


“Mereka juga bergabung dengan kiai besar, Kiai Khalifah (Kiai Mojo), Kiai Wahada, Kiai Baderan, kiai Gozali dari Melangi Jawa Tengah. Semuanya berumur 62 tahun dan bisa membaca kitab, tapi belum bertarikat, kecuali Kiai Hasan yang sudah bertarekat Syatariyah,”.


Dalam suratnya, Kiai Hasan Maolani menuliskan:

Kalau saya dibuang itu adalah buah dari ilmu saya, قُلِ اَلْحَقَّ، وَلَوْ كَانَ مُرًّ kalau penjajah itu buruk ya harus ditentang, jangan sampai ahli ilmu mudah untuk bernegosiasi dengan mereka.


Imam Al-Ghazali berkata: Barang siapa yang membaca surah Al-Waqiah sekali, maka selamanya ia tidak akan dalam kefaqiran. Sabda Nabi saw. Barang siapa yang membaca Al-Waqiah setiap hari satu kali saja, maka ia tidak akan berada dalam kekurangan. Barangsiapa yang membaca la haula wala quwwata illa billah. Maka ia tidak akan berada dalam kekurangan.


“Bahkan diceritakan bahwa Kiai Hasan mengutip 36 kitab besar, padahal dalam pengasingan para Kiai tidak membawa bekal sama sekali. Inilah kekuatan ilmu yang Allah letakkan di hati para ulama Nusantara. Dalam pengasingan itu, Kiai membangun masjid, salah satunya masjid Al falah yang masih berdiri tegak hingga saat ini,” pungkas Ustadz Nida yang juga student Indonesian Islamic Philology, Universitat zu Koin.