Ilmu Al-Qur'an

Metode Kodifikasi Al-Qur’an di Era Sayyidina Utsman RA

Jum, 30 April 2021 | 14:15 WIB

Metode Kodifikasi Al-Qur’an di Era Sayyidina Utsman RA

Ilustrasi: Kerja kodifikasi Al-Qur’an di masa Sayyidina Utsman dilatarbelakangi oleh kekhawatiran perbedaan bacaan Al-Qur’an penduduk Iraq dan Syam ketika itu yang mengarah pada konflik sosial.

Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya menceritakan dari sahabat Anas bin Malik RA, sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman RA datang menemui Utsman bin Affan RA. Hudzaifah yang bertugas dalam ekspedisi penaklukan Armenia dan Azirbaijan melaporkan perjalanannya kepada Utsman RA betapa terkejutnya ia atas keragaman versi bacaan Al-Qur’an (di mana mereka saling mengafirkan karena perbedaan versi bacaan).


"Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terpecah perihal bacaan seperti Yahudi dan Nasrani," kata Hudzaifah kepada Utsman.


Utsman lalu mengirim utusan kepada Hafshah RA (yang menyimpan mushaf peninggalan masa kekhalifahan Abu Bakar RA dan Umar RA), "Keluarkanlah mushaf itu kepada kami. Kami akan menyalin suhuf ke dalam sejumlah mushaf. Nanti kami kembalikan lagi kepadamu," kata Utsman melalui utusannya.


Sayyidah Hafshah kemudian menyerahkan mushaf peninggalan Abu Bakar RA dan Umar RA kepada Utsman RA. Utsman RA kemudian menugaskan Zait bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke beberapa mushaf. (M Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadits: 2017 M/1438 H], halaman 207).


Empat orang yang menjadi panitia kodifikasi Al-Qur’an di era Utsman bin Affan RA kemudian menyalin mushaf yang dirawat sayyidah Hafshah bin Umar RA. Dari empat orang ini, hanya Zaid bin Tsabit yang berasal dari kalangan sahabat Anshor. Sisanya berasal dari kalangan sahabat Muhajirin.


Sebagian riwayat menyebutkan, anggota panitia kodifikasi Al-Qur’an di era Utsman bin Affan berjumlah 12 orang. Mereka tidak menyalin Al-Qur’an begitu saja. Mereka menyalinnya setelah melakukan verifikasi dan pemeriksaan bersama sahabat lainnya. Mereka hanya mencatat kalimat yang diakui oleh para sahabat bahwa Rasulullah SAW membacakan kalimat tersebut sebagai Al-Qur’an sebagaimana yang kita saksikan hari ini. (Az-Zarqani, 2017 M: 207).


Salah satu bentuk kerendahan hati dan ketelitian sahabat adalah keengganan mereka mencatat kalimat sebelum mereka benar-benar membuktikan, memastikan, dan mengujinya bahwa kalimat tersebut adalah Al-Qur’an. Kalimat yang mereka catat adalah kalimat yang mereka yakini kesahihan sumbernya dari Rasulullah SAW dan tidak dinasakh. Mereka meninggalkan riwayat "famdhu ila dzikrillah" sebagai ganti kata "fas’aw ila dzikrillah" pada Surat Al-Jumuah ayat 9.


Ada juga kata yang dapat dibaca dengan sejumlah kemungkinan ketika tidak diberi titik. Harus diingat juga ketika itu perkembangan aksara Arab belum mengenal titik dan harakat/syakal/baris. Dalam pada itu kata "fa tabayyanu" pada "in ja’akum fasiqun bi naba’in fa tabayyanu" (Surat Al-Hujurat ayat 6) dapat dibaca "fa tatsabbatu."


Kasus yang sama terjadi pada kata "nunsyizuha" pada "wanzhur ilal izhami kayfa nunsyizhuha"(Surat Al-Baqarah ayat 259) dengan "nansyuruha." Demikian juga kata "uffin" (Surat Al-Isra ayat 23) dapat dibaca dengan 37 cara yang ketika itu lagi-lagi perkembangan aksara Arab sejauh itu belum mengenal titik dan syakal/harakat/baris. (Az-Zarqani, 2017 M: 207).


"Jika kalian berselisih bacaan dengan Zaid bin Tsabit (dari kalangan Anshor), maka tulislah ayat itu dengan cara pelisanan suku Quraisy karena Al-Qur’an turun dalam gaya bahasa mereka," kata Utsman RA kepada tiga penyalin Al-Qur’an yang berasal dari suku Quraisy.


Mereka yang ditugaskan lalu menyalin Al-Qur’an ke sejumlah mushaf. Setelah selesai, khalifah Utsman RA mengembalikan mushaf yang disalin kepada Sayyidah Hafshah RA. Utsman RA kemudian menyebarkan mushaf salinan tersebut ke berbagai penjuru.


Hal yang dilakukan para penulis Al-Qur’an di masa kekhalifahan Utsman tidak menambah dan mengurangi Al-Qur’an. Yang pasti, kerja kodifikasi Al-Qur’an di masa Sayyidina Utsman dilatarbelakangi oleh kekhawatiran perbedaan bacaan Al-Qur’an penduduk Iraq dan Syam ketika itu yang mengarah pada konflik sosial. (Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadis: 2018 M/1440 H], halaman 168) dan (As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadits: 2006 M/1427 H], juz I, halaman 192).


Informasi yang masyhur menyebutkan Khalifah Utsman sebagai orang pertama yang melakukan kodifikasi Al-Qur’an dalam satu mushaf. Hal ini tentu keliru karena orang pertama yang melakukannya adalah Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq. Khalifah Utsman hanya membatasi bacaan Al-Qur’an pada beberapa mushaf di tengah keragaman versi bacaan Al-Qur’an yang mengancam perpecahan sosial sebagaimana riwayat Al-Baihaqi. (Az-Zarkasyi, 2018: 165).


Sebagian orang mengira bahwa kodifikasi atau penyeragaman versi bacaan Al-Qur’an merupakan tindakan kediktatoran sahabat Utsman melalui mushaf Utsmani. Qadhi Abu Bakar dalam Kitab Al-Intishar mengatakan, kerja kodifikasi Al-Qur’an di masa Utsman berbeda tujuan dengan kodifikasi Al-Qur’an di era Abu Bakar RA. Kerja kodifikasi Al-Qur’an di masa Utsman lebih bertujuan pada pemeriksaan mushaf sesuai dengan qiraat Rasulullah melalui riwayat yang kuat (riwayat mutawatir) dan pengabaian versi qiraat selain itu (riwayat Ahad). Kerja kodifikasi Al-Qur’an era Utsman lebih pada verifikasi atas bacaan mushaf yang ada selama ini. (Az-Zarkasyi, 2018: 166) dan (As-Suyuthi, 2006: 192). 


Zaid bin Tsbait mengatakan upaya pencatatan Al-Qur’an dimulai pada zaman Rasulullah SAW. Sedangkan kodifikasi Al-Qur’an pada sebuah mushaf dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar RA. Sementara kodifikasi Al-Qur’an pada sejumlah mushaf diberlakukan di masa Khalifah Utsman bin Affan RA. Mereka menghimpun dan mencatat riwayat bacaan Al-Quran yang telah maklum sesuai bacaan yang tersimpan dalam hafalan mereka. Semua itu dilakukan dengan musyawarah ahli Al-Qur’an di kalangan sahabat yang masih hidup ketika itu. Kerja kodifikasi Al-Qur’an ini disepakati oleh Sayyidina Ali RA. Ia juga mengapresiasi kerja-kerja agung seperti ini. (HR Al-Baihaqi). (Az-Zarkasyi, 2018: 165).


Ulama berbeda pendapat perihal jumlah mushaf yang dikeluarkan dan disebarluaskan ke sejumlah penjuru. Riwayat yang masyhur menyebutkan, semuanya berjumlah lima mushaf. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dari Hamzah bin Zayyat yang mengatakan bahwa Sayyidina Utsman bin Affan RA menyebar 4 mushaf. Ia juga mendengar Abu Hatim As-Sajistani mengatakan, Sayyidina Utsman RA menulis 7 mushaf yang disebarkan ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan satu ditahan di Madinah. (As-Suyuthi, 2006: 193).


Abu Amr Ad-Dani mengatakan pada Kitab Al-Muqni’, banyak ulama berpendapat bahwa Sayyidina Utsman RA ketika melakukan kerja kodifikasi Al-Qur’an menjadikannya sebagai 4 mushaf yang selanjutnya dikirim ke berbagai penjuru, yaitu Kufah, Bashrah, Syam, dan satu disimpan di Madinah. Ada ulama mengatakan, Khalifah Utsman RA mengeluarkan 7 mushaf yang dikirim selain empat kota tersebut adalah Makkah, Yaman, dan Bahrain. Ad-Dani mengatakan, pendapat pertama lebih sahih dan menjadi pegangan ulama terkemuka. (Az-Zarkasyi, 2018: 169). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)