Nu’aiman bin Amr bin Rafa’ah adalah sahabat Rasulullah dari kalangan Anshar yang terkenal iseng dan ‘jahil’. Ia kerap kali melakukan hal-hal yang menjengkelkan, tapi menghibur. Meski demikian, Nu’aiman adalah seorang mujahid sejati Islam. Ia menjadi Ashabul Badr karena ikut terlibat dalam Perang Badar bersama Rasulullah dan para sahabat yang lainnya.
Nu’aiman banyak melakukan hal-hal konyol dan jahil hingga membuat Rasulullah dan para sahabat lainnya terpingkal-pingkal, tidak kuat menahan tawa. Yang menjadi target keusilannya tidak hanya para sahabat, tapi bahkan juga Rasulullah.
Merujuk buku Yang Jenaka dari M Quraish Shihab (Quraish Shihab, 2014) dan buku Dari Canda Nabi & Sufi Sampai Kelucuan Kita (A Mustofa Bisri, 2016), dikisahkan suatu ketika Nu’aiman ingin menghadiahi Rasulullah seguci madu. Nu’aiman lantas mendatangi penjual madu dan menyuruhnya untuk menghantarkan madunya itu kepada Rasulullah.
“Nanti kamu minta juga uang harganya,” kata Nu’aiman kepada penjual madu itu.
Penjual madu gembira karena barang dagangannya laku. Ia akhirnya menuruti apa yang diucapkan Nu’aiman. Ia datang menghadap Rasulullah dengan membawa seguci madu, hadiah dari Nu’aiman. Ketika itu, Rasulullah senang karena mendapatkan hadiah madu dari sahabatnya itu.
Namun keriangan Rasulullah itu langsung berubah menjadi sebuah ‘keterjekejutan’ ketika penjual madu juga menyodorkan tagihan. “Ini madunya Rasulullah. Harganya sekian,” kata penjual madu.
Rasulullah langsung sadar memang seperti itulah kelakukan Nu’aiman. Memberi hadiah, tapi beliau malah yang harus membayarnya. Mau tidak mau, beliau akhirnya memberikan sejumlah uang kepada penjual madu itu. Jadilah Rasulullah mendapatkan hadiah madu, sekaligus tagihan harganya.
Beberapa saat setelah kejadian itu, Rasulullah memanggil Nu’aiman. Ia bertanya kepadanya sahabatnya itu mengapa melakukan hal itu.
“Saya ingin berbuat baik kepada Anda ya Rasulullah, tapi saya tidak punya apa-apa,” jawab Nu’aiman. Rasulullah lalu tersenyum setelah mendengar jawaban sahabatnya itu.
Demikianlah Rasulullah. Beliau biasa saja ketika menjadi sasaran kejahilan Nu’aiman. Tidak tersinggung, apalagi marah. (Muchlishon)