Humor

Ger-geran Kiai Wahab dalam Rapat Masyumi

Jum, 6 September 2019 | 10:00 WIB

Ger-geran Kiai Wahab dalam Rapat Masyumi

KH Abdul Wahab Chasbullah. (Ilustrasi: Tirto)

Sekitar tahun 1948 awal, Dewan Pengurus Pusat Masyumi mengadakan musyawarah hingga beberapa hari untuk menentukan sikap menerima atau tidak pinangan Bung Hatta kepada Masyumi untuk bergabung di kabinet.

Kabinet tersebut hendak melaksanakan hasil Perjanjian Renville yang selama ini merugikan bangsa Indonesia sehingga Masyumi menerima pinangan Bung Hatta.

Di tengah musyawarah, KH Wahab Chasbullah mengusulkan agar Masyumi menerima pinangan Bung Hatta. Kiai Wahab berpikir, bagaimana Masyumi hendak mempengaruhi kebijakan jika tidak masuk kabinet? Masukan Kiai Wahab mendapat tentangan dari KH Raden Hadjid (Muhammadiyah).

Namun, Kiai Raden Hadjid bisa menerima usulan dan pendapat Kiai Wahab dengan menyampaikan agar kelak anggota DPP Masyumi yang diangkat menjadi menteri di Kabinet Hatta supaya mengikrarkan janji, tidak cukup hanya berniat dalam hati untuk terus berkomitmen menolak Perjanjian Renville.

Terkait niat ini, Kiai Wahab menjelaskan salah satu Hadits Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan, “Ista’inu  ‘ala injaahil hawaiji bil kitmaan...” (HR Imam Thabrani dan Baihaqi). Artinya, mohonlah pertolongan kepada Allah tentang keberhasilan targetmu dengan jalan merahasiakannya. Sebab itu cukup dengan niat dalam hati,” jelas Kiai Wahab.

“Tapi niat mereka harus dinyatakan agar saudara-saudara yang bakal menjadi menteri itu berjanji di hadapan kita, tidak cukup dinyatakan dalam hati,” tanggap Kiai Hadjid.

“Ooh...jadi saudara menghendaki niat itu diucapkan?” Kiai Wahab mengulurkan pancingan.

“Ya, supaya disaksikan kita-kita ini,” ujar Kiai Hadjid tegas.

“Mana bisa...? Niat harus diucapkan...? Mana haditsnya tentang talaffudz bin niyyaat...(melafazkan niat atau mengucapkan niat)?” ucap Kiai Wahab.

“Ggggggrrrrr....” hadirin di forum yang tadinya sempat tegang menjadi cair dengan candaan Kiai Wahab kepada Kiai Raden Hadjid yang juga ikut mesam-mesem. (Fathoni)

*) Disarikan dari KH Saifuddin Zuhri, "Berangkat dari Pesantren" (LKiS, 2013)