Hikmah

Nabi yang Dikurbankan: Ismail atau Ishaq?

Jum, 16 Juli 2021 | 11:33 WIB

Perihal perbedaan pendapat di kalangan ulama soal siapa nabi yang dikurbankan, Prof KH Nasaruddin Umar pernah mengulasnya dengan baik di Media Indonesia. Apakah Ismail putra sulung Ibrahim dari Sayyidah Hajar, istri kedua berkebangsaan Ethiopia; atau Ishaq, putra bungsu Ibrahim dari Sayyidah Sarah, istri pertama yang berkebangsaan Palestina. Di samping memang tidak disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an dan hadits terkait siapa yang dikurbankan, masing-masing dari kedua pendapat juga didukung oleh para sahabat dan ulama. Tulisan ini berusaha memperkaya dari penjelasan yang ada.

 

Pendapat yang mengatakan Ismail, di antaranya didukung beberapa sahabat seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abas, Abu Hurairah, Ali bin Abi Thalib, dan Abut Thufail Amir bin Watsilah radhiyallâhu ‘anhum‘ . Dari kalangan Tabi’in seperti Sa’id bin Al-Musayyib, Sa’id bin Jubair, dan Al-Hasan Al-Bashri. Dari kalangan mufassir seperti An-Nasafi, Thahir Ibnu ‘Asyur, Wahbah az-Zuhaili, Ar-Razi, Ibnu Katsir, dan Al-Qurtubi.

 

Sementara pendapat yang mengatakan Ishaq, di antaranya didukung oleh beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khattab, Ka’ab al-Akhbar, Jabir, dan Al-‘Abbas radhiyallâhu ‘anhum. Dari kalangan Tabi’in seperti Qatadah, Malik bin Anas, ‘Ikrimah, Masruq, Muqatil, Az-Zuhri, dan As-Suddi. (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsîrul Munîr, juz XXII, halalaman 126).

 

Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan argumen masing-masing kedua pendapat. Ar-Razi dalam Tafsîr Mafâtîhul Ghaib mengemukakan enam argumen untuk kelompok yang berpendapat Ismail sebagai nabi yang disembelih, dan dua argumen untuk pendapat yang mengatakan Ishaq. (Fakhruddin Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, juz XIII, halaman 160-162).

 

Argumentasi Pendapat yang Mengatakan Ismail 
Pertama, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:


أَنَا ابْنُ الذَّبِيحَيْنِ

 

Artinya: “Saya adalah anak dari dua orang yang disembelih.”

 

Maksud dari ‘dua orang yang disembelih’ adalah Abdullah bin Abdul Muthallib ayah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam dan Nabi Ismail ‘alaihissalâm. Dulu saat Abdul Muthalib menggali sumur Zamzam, ia bernazar akan menyembelih salah satu anaknya jika diberi kemudahan. Setelah dimudahkan, Abdul Muthallib mengundi untuk menentukan salah satu anaknya untuk disembelih. Undian jatuh ke Abdullah. Namun akhirnya Abdullah ditebus dengan 100 ekor unta.

 

Sementara yang dimaksud ‘yang disembelih’ kedua dari hadits di atas adalah Nabi Ismail ‘alaihissalâm. Sebab Ismail merupakan nenek moyang bangsa Arab atau Abul ‘Arab. Jika nasab Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dilacak, pasti akan bertemu dengan Nabi Ismail ‘alaihissalâm.

 

Kedua, Nabi Ismail ‘alaihissalâm tinggal di Makkah, dan dialah yang membangun Baitullah bersama ayahnya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm. Di Makkah itulah, tepatnya di Mina, terdapat Al-Manhar (tempat penyembelihan). Seandainya yang dimaksud adalah Ishaq, pasti Al-Manhar berada Baitul Muqaddas, bukan Mina. Karena Ishaq tinggal di Palestina.

 

Ketiga, Allah menyifati Nabi Ismail ‘alaihissalâm dengan nabi yang penyabar (Al-Anbiya ayat 85), karena kesabaran menerima cobaan untuk disembelih. Allah juga menyifatinya sebagai nabi yang menepati janji (Maryam ayat 54), karena ia bersedia untuk disembelih dan membantu ayahnya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm, untuk menepati janji.

 

Keempat, Nabi Ishaq ‘alaihissalâm merupakan ayah dari Nabi Ya’qub ‘alaihissalâm. Saat Allah memberi kabar gembira pada Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm, bahwa ia akan dikaruniai Ishaq, sekaligus diberitahu bahwa dari Ishaq nanti akan lahir juga Ya’qub. Jika yang disembelih itu Ishaq, tidak mungkin. Karena Allah sudah mengatakan, Ishaq akan melahirkan Ya’qub. Secara tidak langsung Allah memberitahu bahwa usia Ishaq akan sampai dewasa hingga melahirkan Ya’qub. Bukan disembelih seperti Ismail saat masih kecil. Seandainya kita mengatakan bahwa Ishaq diperintahkan disembelih ketika sudah melahirkan Ya’qub, ini tidak juga mungkin. Karena usia Ishaq pada saat itu sudah tua. Sementara dalam Al-Qur’an yang disembelih itu masih usia kanak-kanak. Ada yang mengatakan 13 tahun. Jelas, ini lebih cocok untuk Ismail.

 

Kelima, dalam Al-Qur’an dijelaskan, usia Ibrahim sudah tua (86 tahun), tapi belum juga dikaruniai anak. Ia pun meminta kepada Allah agar dikaruniai buah hati (As-Shaffat ayat 99-100). Setelah memaparkan kisah itu, Al-Qur’an menjelaskan tentang nabi yang disembelih dan ditunjukkan pada anak pertama. Ulama sepakat bahwa Ismail anak pertama itu. Bukan Ishaq.

 

Keenam, banyak riwayat yang menjelaskan bahwa tanduk kambing yang dulu menggantikan Nabi Ismail ‘alaihissalâm, digantung di Ka’bah. Ini menunjukan bahwa nabi yang disembelih berada di Makkah, yaitu Ismail. Seandainya itu Ishaq, maka tanduk kambing itu berada di negeri Syam (tepatnya di Palestina).

 

Argumentasi Pendapat yang Mengatakan Ishaq
Pertama, dalam Al-Qur’an (As-Shaffat ayat 99-100), dijelaskan tentang kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm hijrah ke negeri Syam. Saat itu Ibrahim berdoa agar dikaruniai seorang anak. Analisa ini menyimpulkan bahwa Ishaq itulah nabi yang disembelih. Karena Ishaq lahir dari Sayyidah Sarah yang berasal dari Syam. Kemudian dipertegas pada ayat berikutnya (As-Shaffat ayat 112), yang menjelaskan kabar gembira dari Allah, bahwa Ishaq tergolong sebagai orang shaleh. Kabar gembira ini tidak lain karena Ishaq telah melewati cobaan begitu berat, yaitu hendak disembelih.

 

Kedua, Nabi Ya’qub ‘alaihissalâm pernah mengirim surat untuk putranya, Yusuf ‘alaihissalâm. Potongan teks surat tersebut berbunyi:

 

مِنْ يَعْقُوبَ إِسْرَائِيلَ نَبِيِّ اللهِ بْنِ إِسْحَاقَ ذَبِيحِ اللهِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلِ اللهِ

 

Artinya: “... dari Ya’qub (Israil) Nabi Allah bin Ishaq Dzabihillâh bin Ibrahim Khalîlillâh ...”

 

Dalam surat tertulis ‘Ishaq Dzabihillâh’, yang berarti Ishaq merupakan nabi yang disembelih.

 

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, yang terpenting adalah mengambil hikmah dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm tersebut. Kita dapat meneladani kecintaan Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm kepada Allah. Seperti diketahui, Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm adalah nabi yang sangat dicintai Allah. Demikian juga diri Ibrahim, sangat mencintai Allah, sampai-sampai dijuluki Khalîlullâh (Kekasih Allah). Hanya saja, kecintaannya hampir terduakan setelah ia memiliki anak. Sampai akhirnya diuji oleh Allah untuk membuktikan cintanya kepada Tuhan masih murni. Seolah-olah Allah berkata, “Jika cintamu masih murni pada-Ku, sembelihlah putra yang sangat kau cintai itu. Yang telah meyebabkan kau menduakan-Ku.”

 

Keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm merupakan potret keluarga yang sangat taat kepada Allah. Ibrahim sebagai seorang ayah yang sangat mencintai anaknya, dengan ikhlas mematuhi perintah Allah untuk menyembelihnya. Demikian juga Si Anak, begitu mengetahui hal itu merupakan perintah Allah, ia langsung menerima tanpa penolakan. 

 

Kita juga semestinya meneladani jiwa rela berkorban di jalan Allah dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm. Paling tidak mau mengorbankan harta untuk disedekahkan kepada fakir miskin, atau berkurban di hari raya Idul Adha. Ketaatan keluarga Ibrahim juga mendapat balasan yang setimpal dari Allah. Di antaranya, keturunan Ibrahim menjadi orang-orang shaleh. Bahkan Ibrahim dijuluki Abul Anbiyâ’ (Bapak Para Nabi), karena nabi-nabi setelahnya merupakan keturunan darinya. Jika kita menyebutkan nasab Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam, pasti akan sampai pada Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm.

 

Semoga kita semua bisa mencontoh ketaatan keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm dalam membina keluarga yang taat kepada Allah. Jika Ibrahim yang disuruh mengorbankan putranya saja mau, sudahkah kita berkurban, minimal seekor kambing di hari raya Idul Adha? Wallâhu a’lam.
 

Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab; Alumnus Pesantren KHAS Kempek Cirebon.