Hikmah

Kisah Nabi Ibrahim yang Enggan Menjamu Nonmuslim karena Kekufurannya

Ahad, 15 Agustus 2021 | 03:30 WIB

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin bercerita tentang hubungan sosial Nabi Ibrahim dan nonmuslim di zamannya. Nabi Ibrahim as dikenal sebagai bapak tauhid dan seorang dermawan. Ia orang yang kuat mempertahankan keimanannya.


Nabi Ibrahim juga dikenal sebagai seorang dermawan yang tidak bisa makan sendirian tanpa kehadiran orang lain. Kalau di dekatnya tidak orang yang menemaninya makan, ia tidak melangsungkan makannya. Ia akan berjalan ke timur, barat, utara, dan selatan hanya untuk mencari orang yang menemaninya di meja makan.


Pada kali ini ceritanya berbeda. Nabi Ibrahim as yang terkenal dermawan terhadap siapa saja itu memberikan syarat atas jamuannya. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz IV, halaman 161).


Suatu malam yang gelap seorang beragama Majusi lansia mendatangi Nabi Ibrahim as. Ia merasa lapar dan tidak memiliki bekal untuk memenuhi rasa laparnya. Ia mengetahui Nabi Ibrahim as sebagai seorang dermawan. Oleh karena itu, ia berharap Ibrahim dapat memberikan jamuan kepadanya.


Ibrahim mengerti orang di hadapannya seorang pemeluk Majusi yang memasuki usia senja. Ibrahim memberikan syarat keimanan atas jamuannya.


“Kalau kau berkenan memeluk Islam, aku mau memberikan jamuan kepadamu hari ini,” kata Ibrahim.


Majusi tua itu terperanjat mendengar jawaban Ibrahim. Ia kecewa. Ia menghadapi seseorang yang berbeda dari Ibrahim yang ia bayangkan. Ia tidak mau mengemis di hadapan Ibrahim. Ia kemudian pergi meninggalkan Ibrahim yang dikenal orang sebagai seorang dermawan.


Allah menegur Ibrahim. “Ibrahim, mengapa kamu enggan memberi makan dia kecuali dia mau mengganti keyakinannya? Sedangkan Kami selama 70 tahun memberinya makan di tengah kekufurannya.”


“Andai saja mala mini kau berkenan menghidangkan jamuan untuknya, tentu itu tidak menyulitkanmu,” tegur Allah untuk Ibrahim.


Ditegur demikian, Ibrahim segera insaf. Ia kemudian mengejar Majusi tua di kegelapan malam. Ia berlari di belekang Majusi tersebut. Ia mengajaknya kembali ke rumah untuk menyantap hidangan dan bermalam.


“Mengapa kamu berubah sikap seperti ini Ibrahim?” tanya Majusi tua.


Nabi Ibrahim kemudian menceritakan teguran Allah kepadanya. Nabi Ibrahim mengakui kekeliruan sikapnya dalam persyaratan jamuan berdasarkan keyakinan.


“Benarkah demikian Tuhanmu memperlakukanku Ibrahim? Terangkan Islam kepadaku,” kata Majusi tua itu.


Majusi tua itu kemudian memeluk Islam setelah mendapatkan keterangan perihal agama Islam dari Nabi Ibrahim as.


*


Az-Zabidi menambahkan, Allah menjadikan sebab-sebab remeh (jamuan makan malam) yang dapat mengantarkan seseorang pada pengampunan dosa besar (kekufuran). Kisah ini mengisyaratkan bahwa dunia itu sangat kecil dan tidak ada artinya bagi Allah; bobotnya tidak sampai seberat satu sayap nyamuk.


Artinya, Allah tetap menghamparkan dunia untuk musuh-Nya (orang-orang kafir) sekalipun. Allah juga menurunkan rahmat duniawi-Nya untuk alam semesta, baik orang kafir maupun orang beriman.


Ketika menyaksikan kemurahan Allah untuknya dengan menegur kekeliruan sikap nabi-Nya terhadap musuh-Nya sekalipun, Majusi tua itu bersyukur kepada Allah. Dosa kufurnya pun diampuni oleh Allah dengan pemberian hidayah untuk menerima Islam.


Demikian keterangan Az-Zabidi, (Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin, bi Syarhi Ihya Ulumiddin, [Beirut, Muassasatu Tarikh Al-Arabi: 1994 M-1414 H], juz IX, halaman 189). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan).