Daerah

Nabi Ibrahim, Sosok Konsisten dalam Menjaga Keyakinan

Rab, 21 Juli 2021 | 04:00 WIB

Nabi Ibrahim, Sosok Konsisten dalam Menjaga Keyakinan

Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh Misri A. Muchsin

Aceh Selatan, NU Online
 

Idul Adha memiliki makna yang berkaitan dengan sejarah dua insan yang kuat menghadapi cobaan, yakni Ibrahim dan putranya Ismail. Idul Adha secara kebahasaan berarti hari raya kurban (udlhiyah), domba yang dikurbankan, disembelih, dipersembahkan sebagai kurban.


Pengertiannya yang lebih luas adalah keberanian dan keikhlasan berkurban untuk mencapai ketinggian dan ridha Allah seperti yang dicontohkan oleh Ibrahim dan Ismail serta para rasul dan para nabi lainnya. Untuk maksud yang mulia dan keimanan, Nabi Ibrahim as harus menghadapi cobaan-cobaan dalam hidupnya yang luar biasa.
  
 
"Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail berkaitan dengan sejarah ibadah kurban dalam al-Qur’an melambangkan pribadi hamba yang konsisten dengan keyakinannya kepada Allah yang tidak ada duanya dan harus menjunjung perintah-Nya,” kata Misri A. Muchsin saat khutbah Idul Adha di Masjid Baitul Makmur Lhok Ketapang, Aceh Selatan, Nangroe Aceh Darussalam, Selasa (20/7).
 

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa demi keyakinan, Nabi Ibrahim rela berpisah dengan ayah kandungnya. Ia juga harus rela meninggalkan tanah tumpah darahnya hingga bersedia mengorbankan anaknya. “Dan anaknya juga bersedia disembelih meskipun pada akhirnya Allah menggantinya dengan domba.," lanjut penulis buku Dinamika Sejarah Politik Islam Periode Awal itu.
 

Kisah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail itu memberikan gambaran kepada umat Islam bahwa tidak ada kemenangan tanpa ujian dan tidak ada keberhasilan tanpa cobaan.


Oleh karena itu, ia mengajak umat Islam untuk mengambil keteladanan dari kisah kedua nabi tersebut. “Keteladanannya yang kita ambil bukan hanya sekedar memotong hewan kurban unta, kerbau, sapi ataupun kambing. Tetapi juga kecerdasan beliau dan ketajaman sikap kritis yang diterapkan secara efektif dalam kehidupan masyarakat luas,” terangnya.


Hal yang tak boleh ketinggalan, menurutnya, teladan Nabi Ibrahim itu terangkum dalam surat Hud ayat 75,”Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang sangat penyantun, memiliki sikap empati yang sangat kuat dan bertobat kepada Allah (lantaran malu kepadaNya)".
 
 
"Dari sifat cerdas, kritis dan santun, wacana dan jelajah garapan beliau menjadi menyeluruh ranah jangkauannya. Dari tingkat yang paling tinggi (menghadapi raja Namrud) secara individual dan dalam sistem institusional sampai tingkat yang paling dasar (rela berpisah dengan ibu-bapak) dalam keluarga. Beliau tunjukkan pola reformasi keimanan yang rusak dimulai dari yang paling bawah dan sederhana ke puncak yang paling tinggi secara tuntas," kata Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh itu.


Kontributor:
Editor: Syakir NF