Hikmah

Kesaksian Pencuri 1000 Kain Kafan di Kuburan

Sab, 28 Maret 2020 | 02:00 WIB

Kesaksian Pencuri 1000 Kain Kafan di Kuburan

(Ilustrasi: reviversgalleria.com)

Dikisahkan, ada seorang laki-laki yang bertobat di hadapan Syekh Yazid. Sebelum bertobat, laki-laki itu dikenal sebagai pencuri kain kafan dari mayat-mayat yang belum lama dikuburkan untuk kemudian dijual kepada tukang kain dan hasilnya digunakan guna memenuhi kebutuhan.

 

Hal itu dilakukannya di tengah zaman masyarakat begitu miskin hingga, kain kafan pembungkus mayat pun mereka curi tanpa memedulikan kehormatan si mayit (jenazah). Kondisi serupa namun dalam bentuk yang berbeda juga terjadi di zaman sekarang. Sebagian manusia tak lagi menghormati sesamanya, baik di saat masih hidup maupun sudah tiada. Ketika masih hidup mereka diperlakukan secara tidak hormat. Nyawa mereka dihilangkan dengan mudahnya. Setelah mereka meninggal pun, kuburan mereka banyak yang dibongkar begitu saja. Disulap menjadi bangunan megah tanpa memperhatikan kehormatannya.

 

Itu pula yang dilakukan seorang pencuri kain kafan yang kemudian datang ke majelis Syekh Abul Yazid dan bertobat di hadapannya.

 

Orang-orang yang hadir di majelis Syekh Abul Yazid sempat bertanya kepada si pencuri kain kafan yang tobat tadi, “Wahai kawan, hal apa yang paling aneh dan mengherankan yang pernah kau temukan? Engkau bukannya biasa menggali kubur di waktu malam? Tak diragukan lagi kau pernah mendapati sesuatu yang langka dan mengherankan.”

 

Si laki-laki menjawab, “Tentu saja. Bahkan aku sering menemukannya. Di antara seribu lebih kuburan yang pernah kugali, aku mendapati 900 kuburan lebih yang arah kiblat para pemiliknya sudah berubah. Konon, menurut para ulama, itu pertanda buruk yang harus mendapat perhatian.”

 

 

Mendengar kisah tersebut, sontak mereka yang ada di majelis menjadi riuh dan merasa kaget dengan jumlah sebanyak itu. Mereka terkejut sekaligus terheran-heran dengan kejadian yang baru saja dikisahkan. Mereka kemudian bertanya kepada Syekh Abul Yazid.

 

Beliau kemudian menjawab, “Menurutku, tak lain penyebab utama wajah mereka berpaling dari arah kiblat adalah ragu terhadap janji Allah dalam urusan rezeki. Padahal Dia telah berjanji kepada mereka, juga kepada kita semua akan menjamin urusan rezeki. Bahkan, Dia bersumpah dalam Al-Qur’an, Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan, (QS Adz-Dzariyat [22-23).

 

Dari kisah di atas, dapat disimpulkan bahwa rasa bimbang dan gamang dalam urusan rezeki nyaris dialami oleh banyak orang, tanpa memandang latar belakang kasta dan kedudukan. Artinya, perasaan ini dialami siapa saja, baik orang miskin maupun orang kaya, baik rakyat jelata maupun pejabat, baik orang awam maupun orang berpengetahuan, bahkan mungkin dirasakan orang-orang yang dipandang alim. Sebab, perasaan ini sangat ditentukan oleh keyakinan hati terhadap Dzat Pemberi rezeki. Semakin lemah keyakinan seseorang terhadap rezeki Allah, semakin besar rasa gamangnya. Sebaliknya, semakin kuat keyakinannya, semakin tipis pula perasaan gamangnya. Bahkan, mungkin tidak ada, berganti ketawakalan dan qanaah kepada Allah. Karena rezeki telah ditetapkan urusannya di langit, sebagaimana dalam ayat lain, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,” (QS Hud [11]: 6). (Lihat: Al-Habib ‘Ali Al-Jufri, Ayyal Murid, hal. 175). Wallahu a’lam.

 

 

Penulis: M. Tatam

Editor: Mahbib