Keramat Mbah Soleh Darat (4): Karyanya Direstui Imam al-Ghazali
NU Online · Senin, 29 Februari 2016 | 03:24 WIB
Semua
kitab karya KH Sholeh Darat berisi ajaran tasawuf. Meski membahas fiqih, isinya
pun banyak ajaran
tasawuf. Kitab kecil bab shalat
dan wudhu, Lathaifut Thaharah wa Asrarus Shalat, juga berisi ajaran tentang tasawuf. Juga kitab Majmu’ Syariat maupun Pasolatan, ada tasawuf di
dalamnya.
Terlebih
dalam kitab yang memang membahas tentang tasawuf, seperti Munjiyat, Minhajul
Atqiya fi Syarhi Ma’rifatil Adzkiya’, Tarjamah Al-Hikam, dan Syarah
al-Burdah, penuh ajaran
tentang pembersihan hati dan penghambaan sejati kepada Allah ta’âlâ.
Karena
keahlian Mbah Sholeh Darat sebagai ahli tasawuf (selain keahlian di banyak
bidang lain), beliau dijuluki Imam al-Ghazali-nya Jawa. Sebab semua kitab
karyanya selalu mengutip ajaran tasawufnya Imam al-Ghazali. Dan memang beliau
sendiri menyebut bahwa karya-karyanya itu memetik dari kitab tasawuf al-Ghazali.
Kebiasaan
beliau usai mulang (mengajar) ngaji adalah
menulis. Mengarang kitab. Mbah Sholeh di dalam kamar, duduk di lantai menghadapi
meja. Dengan penerangan lampu teplok, lembar demi lembar kertas beliau goresi
dengan pena tutul dengan tinta Bak buatan
China. Menuliskan gagasan atau ulasannya di atas kertas itu.
Tinta
yang diwadahi sebuah cupu kecil berbahan tembaga itu terbuat dari larutan
batang Bak dengan air yang dicampuri
minyak wangi. Menurut banyak narasumber, minyak yang dipakai adalah Misik.
Terbukti di kitab tulisan tangan asli Mbah Sholeh Darat yang sampai kini masih
terjaga dan disimpan oleh cicitnya, bau wangi Misik masih terasa jika dibuka
lembaran-lembarannya.
Diriwayatkan,
saat sedang tekun menulis kitab, suatu malam ada seorang tamu berbusana model
Arab. Berjubah dan bersurban. Oleh para santri, tamu itu disalami lantas
disuguhi minum wedang. Kemudian diantarkan bertemu Mbah Sholeh di ruang pribadi
beliau. Kata perawi cerita
ini, saat itu beliau sedang menulis kitab Munjiyat: Methik Saking Ihya
Ulumiddin.
SI santri
pun kembali ke ruang depan lalu menghabiskan minuman sang tamu yang masih
tersisa. Lalu mereka kembali ke langgar untuk nderes pengajian pelajarannya.
Mereka
mendengar sayup-sayup pembicaraan kiainya dengan sang tamu yang berbincang
dalam bahasa Arab. Suara keduanya terdengar, tapi isi pembicaraan kurang jelas
karena jarak dan dipisahkan dinding kayu di dalam ruangan.
Saat
malam telah larut, sang tamu pamit pulang. Mbah Sholeh nguntapke (mengantarkan) sampai serambi rumahnya. Usai melambai di halaman
langgar, si tamu itu melangkah ke arah jalan besar. Lantas menghilang di
kegelapan malam.
Para
santri yang penasaran lantas bertanya kepada gurunya.
“Itu
tadi siapa, kiai? Rasanya belum pernah datang ke sini,” tanya seorang santri
senior yang tadi menyuguhi wedang.
“Itu
tadi Imam al-Ghazali. Beliau merestui kitab yang kutulis,” jawab Mbah Sholeh
kalem.
“Lhoh.
Subhanallah. Masya Allah. Bukankah Imam al-Ghazali sudah wafat ratusan tahun
lalu?” ujar mereka takjub sambil bertanya-tanya.
“Ya
itulah karomah beliau. Mari kita berdoa tawassul kepada Imam al-Ghazali agar
ilmu kita diberkahi,” pungkas Mbah Sholeh seraya menyuruh santrinya kembali ke
langgar. (Ichwan)
Saya
bertemu dengan beberapa kiai atau ustadz, umumnya yang sudah membaca atau mengajarkan kitab Munjiyat:
Methik Saking Ihya Ulumiddin, disertai doa tawassul kepada Mbah Sholeh
Darat dan Imam al-Ghazali, mereka menjadi mudah dalam menjalani laku tasawuf.
Atau minimal mendapat semangat belajar tasawuf.
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
3
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
4
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
5
Terima Dubes Afghanistan, PBNU Siap Beri Beasiswa bagi Mahasiswa yang Ingin Studi di Indonesia
6
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
Terkini
Lihat Semua