Fragmen

Pengorbanan Politik Al-Hasan bin Ali demi Perdamaian

Jumat, 16 Februari 2024 | 21:15 WIB

Pengorbanan Politik Al-Hasan bin Ali demi Perdamaian

Ilustrasi: kekuasaan - politik (freepik)

Sayyidina Al-Hasan atau juga disebut Al-Hasan bin Ali adalah cucu Rasulullah saw yang lahir dari putri Rasullah bernama Fatimah. Sayyidina Al-Hasan lahir di tahun ketiga Hijriah, yang artinya beliau hidup bersama Rasulullah selama tujuh tahun sebelum Rasulullah wafat pada tahun 11 Hijriah. 
 

 

Rasulullah saw pernah bersabda tentang Sayyidina Al-Hasan bahwa ia akan menjadi pemimpin dan akan mendamaikan antara dua kelompok yang berseteru.

 

Imam Al-Bukhari meriwayatkan satu hadits saat Sayyidina Al-Hasan mendatangi Rasul dan beliaupun bersabda: 

 


إِنَّ ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ يُصْلِحُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ

 

Artinya, “Rasulullah saw berkata: Anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin, dan mungkin kelak Allah akan mendamaikan dua kelompok Muslim melalui dia.” (HR. Al-Bukhari).

 


Muhammad bin Abdil Baqi Az-Zarqani dalam Syarhuz Zarqani menjelaskan, dalam sejarah telah terjadi pertempuran besar antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah pada hari pertama bulan Safar tahun 37 H. Dampak dari pertempuran besar itu, orang-orang selalu berhati-hati untuk melakukan perjalanan bepergian.

 

Pertempuran ini terjadi karena setelah khalifah ketiga, Utsman bin Affan ra wafat, lalu Ali bin Abi Thalib ra dibaiat untuk menjadi khalifah oleh Alul Halli wal ‘Aqdi, yaitu sejumlah sahabat Nabi saw pilihan yang terlibat dalam musyawarah penentuan kebijaksanaan sistem kenegaraan serta pemilihan kepala negara.

 

Setelah baiat dilakukan, terjadi penolakan dari Muawiyah bersama dengan orang-orang di Syam. Lalu Ali bin Abi Thalib menulis surat agar Muawiyah mau taat kepada pemerintah. Akan tetapi dia menolak.

 

Ali pergi menemuinya bersama 70 ribu penduduk Irak dan 400 orang dari Muhajirin dan Anshar, sedangkan Muawiyah bersama 85 ribu penduduk Syam. Terjadilah pertempuran besar antara dua kubu. Pertempuran tersebut berlangsung selama 110 hari dan menewaskan 70 ribu penduduk Syam dan 20 ribu penduduk Irak. 

 

Setelah khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib ra, wafat pada 19 Ramadhan 40 Hijriah atau 28 Januari 661 Masehi, Al-Hasan diangkat menjadi khalifah untuk menggantikan ayahnya. Beliau dibaiat oleh 40 ribu warga Irak dan mereka berjanji setia kepadanya.  

 

Al-Hasan bin Ali ra menjabat sebagai khalifah selama enam bulan. Para ahli sejarah mengatakan, ini adalah kelanjutan 30  tahun yang disebutkan dalam hadits, bahwa kekhalifahan berjalan selama 30 tahun, dan setelah itu akan ada kerajaan yang kuat. 

 

Setelah enam bulan masa kekhilafahan, Al-Hasan bin Ali ra pergi bersama para prajurit untuk memerangi orang-orang Syam, kemudian Muawiyah pergi menemuinya.
 

Dalam pertemuan itu telah terjadi kesepakatan damai di antara mereka agar tidak terus-menerus terjadi pertumpahan darah. 

 

Kesepakatan damai ini diambil oleh Al-Hasan ketika dua pasukan bertemu. Ia berfikir jika menang ataupun kalah, akan banyak darah tertumpah, banyak nyawa yang dibunuh, dan harus ada korban jiwa di kedua belah pihak.

 

Karena itu Al-Hasan memutuskan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah dan tidak akan menentangnya demi menghindari pertikaian. 

 

Dalam perdamaian ini Al-Hasan menuliskan syarat-syaratnya. Syarat-syarat itu kemudian diterima sepenuhnya. Allah swt telah memenuhi apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa Allah swt akan mendamaikan dua kelompok melalui Al-Hasan bin Ali. (Muhammad bin Abdil Baqi Az-Zarqani, Syarhuz Zarqani, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1990], juz III, halaman 158).

 

Membaca sejarah ini kita melihat pengorbanan Sayyidina Al-Hasan rela melepaskan kepemimpinannya dan menyerahkannya kepada Muawiyah demi mewujudkan perdamaian dan menghindari pertikaian dan permusuhan yang tak berkesudahan. Wallahu a’lam.


 

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Blitar