Fragmen

Kiai Wahid Hasyim Perkuat Pengetahuan Jemaah Haji Indonesia

Rab, 14 Agustus 2019 | 14:00 WIB

Kiai Wahid Hasyim Perkuat Pengetahuan Jemaah Haji Indonesia

KH Abdul Wahid Hasyim

Persoalan haji dan segala macam yang berkaitan dengannya baru diurus oleh Kementerian Agama sejak tanggal 16 Januari 1950 atas dasar penyebutannya dalam rencana usaha Program Politik Kementerian Agama Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal itu diawali dengan penyerahan kedaulatan kepada Kabinet RIS dengan KH Abdul Wahid Hasyim sebagai menteri agamanya.

Atas dasar usulan dari Kongres Muslimin Indonesia, Kiai Wahid menandatangani Panitia Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia sebagai satu-satunya lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah untuk melakukan upaya perbaikan ibadah haji. Sebagai negeri yang baru berdiri, Indonesia saat itu serba kekurangan. Hal yang paling menjadi sorotan Kiai Wahid adalah persoalan kualitas sumber daya manusianya yang berangkat haji.

Hal tersebut ia tuliskan secara jelas yang termaktub dalam buku Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama? Ia menjelaskan bahwa orang yang berangkat haji dari Indonesia pada umumnya merupakan orang lapisan bawah masyarakat. Mereka terdiri dari petani kecil atau pertengahan dan juga pedagang kecil, perdagangan yang dilakukan hanya oleh perseorangan saja, tidak berbentuk dalam perseroan terbatas.

Di samping itu, kecerdasan dan pengetahuan mereka masih sangat sederhana baik tentang pengetahuan agama maupun pengetahuan umumnya. Tak ayal, kehadiran mereka tidak begitu menarik banyak orang mengingat obrolannya yang sederhana dan pengaruh psikologisnya sebagai orang yang biasa, menurutnya, terlampau tawadu sehingga terkesan merendahkan diri di hadapan orang lain.

Minimnya pengetahuan membuat mereka mudah tertipu. Kiai Wahid menceritakan bahwa ada seseorang yang membeli Ka’bah karena ada penawaran yang datang padanya. Ada pula yang enggan menuju ke Arafah sebagai tempat berkumpulnya ribuan orang dan tempat inti berhaji. Kita tentu ingat sebuah hadis al-hajju Arafah, haji itu ya Arafah. Nabi menyebut demikian karena saking intinya haji di situ. Tetapi, orang tersebut enggan ke sana karena ia mengiranya Eropa. Meskipun ia dijelaskan panjang kali lebar bahwa Arafah bukanlah Eropa, tetapi orang tersebut tetap pada  pendiriannya enggan beranjak ke sana. Hal tersebut menjadi preseden yang sangat buruk bagi jemaah haji Indonesia saat itu.

Sementara itu, penduduk Indonesia yang terpelajar dan berpengetahuan luas saat itu masih kurang dalam persoalan ekonominya. Kondisi keuangannya tidak mencukupi untuk memberangkatkan dirinya pergi menunaikan rukun Islam kelima tersebut.

Dari peristiwa tersebut, dapat disimpulkan adanya dua persoalan pelik dalam haji Indonesia, yakni kurangnya pengetahuan agama dan umum para jemaah haji dan kurangnya orang berpengetahuan yang berhaji. Dalam hal ini, Kiai Wahid mengungkapkan empat kemungkinan rencana yang akan dilakukannya.

Pertama, membiarkannya saja mengingat hal tersebut merupakan urusan personal masing-masing warga. Hal demikian tentu saja tidak akan ia lakukan mengingat akan memperkeruh hubungan antarnegara karena berbagai keburukan yang dilakukan oleh mereka. Kiai Wahid juga memikirkan ke depannya agar tidak mengulang-ulang berbagai perilaku negatif yang merugikan secara personal maupun komunal bangsa. Kedua, mengajak masyarakat terpelajar yang mengaku Islam untuk berangkat haji. Tetapi, hal ini menurutnya, cukup sulit mengingat mengubah pandangan orang yang sudah berurat akar, hanya Tuhan saja yang dapat berkuasa menjalankannya.

Ketiga, menghentikan orang-orang berangkat haji secara sementara guna meningkatkan kompetensi umat Islam lebih dulu agar pantas berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat dunia. Namun, hal ini jelas-jelas bertentangan dengan UUD yang menjamin kebebasan beragama bagi segenap bangsa Indonesia.

Keempat, berikhtiar untuk meningkatkan kompetensi dan pengetahuan para calon haji dan mengatur perjalanannya sedemikain rupa agar mereka dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara baik dengan masyarakat internasional sehingga diharapkan tidak lagi terjadi hal buruk dan mengecewakan.

Melalui rencananya yang keempat itu, kita ketahui sampai saat ini setiap calon jamaah haji wajib mengikuti program manasik haji atau pelatihan menunaikan ibadah haji. Setiap pekan beberapa bulan sebelum pemberangkatan biasanya para calon jemaah haji itu mengikuti pembekalan oleh para kiai ataupun panitia penyelenggara di ibadah haji dalam hal ini diwakili oleh kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) di berbagai tempat.

Setidaknya melalui program tersebut, calon jamaah haji mengetahui rukun haji, wajib haji, dan berbagai kesunnahan dalam melaksanakan ibadah tersebut. Mereka juga mengetahui langkah-langkah melaksanakan rukun Islam kelima itu. Keberangkatan mereka tidak dengan kepala kosong.
pembekalan itu tentu saja tidak lagi membuat peristiwa yang diceritakan oleh ayah gus dur dalam bukunya tersebut terulang kembali. sebab para jemaah haji sudah mengetahui bahwa Arafah bukanlah Eropa dan Ka'bah adalah milik semua.

Hal tersebut diperkuat dengan berbagai persyaratan melaksanakan ibadah haji berdasarkan Surat Edaran Menteri Agama tanggal 27 Maret 1950 No.A/III/1/648, yakni sebagai berikut.

1. Warga negara Indonesia Muslim, laki-laki maupun perempuan, yang sudah akil balig dan belum berhaji,
2. Berpengetahuan minimum dari agama Islam (rukun lima), serta mengamalkannya, termasuk ibadah haji.
3. Mempunyai bekal yang cukup untuk pergi dan pulang, dan untuk menjamin orang (keluarga) yang ditinggalkan di rumah yang menjadi tanggungan nya selama dalam perjalanan. dalam hal ini tidak sekali-kali diperbolehkan seorang pelamar calon haji menjual suatu yang menjadi pergantungan hidupnya,
4. Nyata tidak tersangkut dalam urusan polisi baik kriminal maupun sipil,
5. kamu adalah yang menghubungi matrix dalam perjalanan tidak minum tidak pula sedang menyusui anak kecil,
6. sehat badannya dari penyakit yang menular atau penyakit tidak bisa diharap sembuhnya, serta sehat pikiran dan ingatannya,
7. Orang sudah lanjut (tinggi) usianya akan tetapi masih kuat menolong dirinya sendiri dalam perjalanan artinya orang yang sudah tua rapuh tidak boleh,
8. Yang tidak buta huruf, bisa membaca huruf Arab tidak termasuk buta huruf, tetapi mereka ini dianjurkan supaya selepas mungkin dalam waktu terluang belajar juga huruf latin.

(Syakir NF)