Fragmen

KH Hasyim Asy’ari, Kisah Wafat dan Perjuangannya di Bulan Ramadhan

Kam, 30 April 2020 | 06:45 WIB

KH Hasyim Asy’ari, Kisah Wafat dan Perjuangannya di Bulan Ramadhan

Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari. (Foto: NU Online)

Bulan Ramadhan bukan hanya bulan istimewa untuk umat Islam di seluruh dunia, tetapi mempunyai makna penting bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 9 Ramadhan 1364 yang bertepatan dengan 17 Agustus 1945.

Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) sedari awal merupakan salah seorang tokoh ulama pesantren yang gigih menentang kolonialisme. Ia selalu dijadikan rujukan dan nasihat dalam pengambilan kebijakan oleh tokoh-tokoh nasionalis seperti Soekarno, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lain-lain. Termasuk konon dalam menentukan tanggal kemerdekaan 17 Agustus 1945 pada bulan Ramadhan. Namun, informasi tersebut memerlukan verifikasi lebih lanjut.

Menempa diri dalam pencarian ilmu di Makkah tidak lantas membuat KH Hasyim Asy’ari alpa terhadap keadaan dan kondisi bangsanya di Tanah Air. Ia tidak menutup mata terhadap bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah.
 
Kegelisahaannya itu dituangkan dalam sebuah pertemuan di Multazam bersama para sahabat seangkatannya dari Afrika, Asia, dan juga negara-negara Arab sebelum Kiai Hasyim kembali ke Indonesia.

Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) mencatat, pertemuan tersebut terjadi pada suatu di bulan Ramadhan, di Masjidil Haram, Makkah. Singkat cerita, dari pertemuan tersebut lahir kesepakatan di antara mereka untuk mengangkat sumpah di hadapan “Multazam”, dekat pintu ka’bah untuk menyikapi kondisi di negara masing-masing yang dalam keadaan terjajah.

Isi kesepakatan tersebut antara lain ialah sebuah janji yang harus ditepati apabila mereka sudah sampai dan berada di negara masing-masing. Sedangkan janji tersebut berupa tekad untuk berjuang di jalan Allah SWT demi tegaknya agama Islam, berusaha mempersatukan umat Islam dalam kegiatan penyebaran ilmu pengetahuan serta pendalaman ilmu agama Islam.

Bagi mereka, tekad tersebut harus dicetuskan dan dibawa bersama dengan mengangkat sumpah. Karena pada saat itu, kondisi dan situasi sosial politik di negara-negara Timur hampir bernasib sama, yakni berada di bawah kekuasaan penjajahan bangsa Barat.

Sebagai salah seorang guru para ulama pesantren, KH Hasyim Asy’ari mempengaruh luas sehingga dapat memberikan penyadaran kepada masyarakat soal perjuangan dan kecintaan terhadap tanah air. Baginya, prinsip tersebut penting untuk menumbuhkan spirit perjuangan rakyat untuk melawan dan mengusir penjajah dari tanah air Indonesia.

Namun demikian, tidak lantas membuat KH Hasyim Asy’ari meninggalkan tradisi kelimuan pesantren. Di tangannya, pesantren tidak hanya menjadi tempat menempa ilmu-ilmu agama, tetapi juga menjadi basis perjuangan rakyat Indonesia dan menjadi wadah pergerakan nasional. Beliau tetap mengajarkan berbagai macam kitab, menulis kitab, dan mengajar ilmu-ilmu hadits yang menjadi kepakarannya.

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 202) yang didapatkannya dari para ulama alumnus Tebuireng, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari—seperti kebanyakan ulama di Indonesia—termasuk golongan fuqaha. Artinya orang yang sangat dalam penguasaannya tentang ilmu-ilmu keislaman.

Di samping itu, masih menurut catatan Kiai Saifuddin Zuhri, ia juga terkenal sebagai ulama ahli hadits. Sudah menjadi wiridan (kebiasaaan rutin) tiap bulan Ramadhan, Hadhratussyekh membaca kitab hadits al-Bukhori, kitab kuning berisi himpunan hadits Nabi Muhammad sebanyak 7.275 hadits.

Banyak ulama yang datang dari berbagai pelosok tanah air untuk mondok di Tebuireng selama bulan Ramadhan untuk menyimak bacaan hadits KH Hasyim Asy’ari. Kepakarannya terlihat bukan hanya ketika ia membaca kitab hadits dengan cermat dan cepat, tetapi juga ketika Hadhratussyekh mengontekstualisasikan dengan dinamika kehidupan dan perubahan zaman. Termasuk ketika menulis Qanun Asasi Nahdlatul Ulama yang banyak sekali mengutip hadits-hadits relevan dan kontekstual.

Ada sebuah kisah ketika KH Hasyim Asy’ari difitnah oleh Jepang (Nippon). Jepang melancarkan tuduhan dan fitnah pemberontakan agar dapat memenjarakan Kiai Hasyim Asy’ari. Jepang melancarkan terornya itu dengan datang langsung ke Pesantren Tebuireng. Tidak mau para santrinya menjadi korban kekejaman Nippon, Kiai Hasyim Asy’ari merelakan diri untuk dibawa serdadu Jepang dan dipenjara.

Di penjara, KH Hasyim Asy’ari mengalami siksa pedih dari tentara Jepang untuk alasan yang tidak pernah diperbuatnya. Meski mengalami beragam kekerasan di dalam penjara, kakek KH Abdurrahman Wahid tidak menyurutkan sedikit pun semangat menegakkan agama Allah dengan tetap melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mengulang hafalan hadits-hadits dalam kitab Al-Bukhori dan menolak dengan tegas agar hormat menghadap matahari sebagai sikap tunduk dan patuh kepada Kaisar Jepang, Teno Heika.

Kisah keteguhan hati Kiai Hasyim Asy’ari dengan tetap menghafal Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhari sebagai wiridan selama dipenjara oleh Jepang diriwayatkan oleh Komandan Hizbullah wilayah Jawa Tengah, KH Saifuddin Zuhri saat berbincang dengan KH Wahid Hasyim (Berangkat dari Pesantren, 2013) dalam sebuah kesempatan sesaat setelah Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan oleh Jepang melalui diplomasi KH Abdul Wahab Chasbullah dan Gus Wahid sendiri.

“Bagaimana kabar Hadhratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari setelah keluar dari tahanan Nippon?” tanya Kiai Saifuddin Zuhri mengawali obrolan dengan Kiai Wahid Hasyim.

Kiai Wahid Hasyim menjelaskan bahwa kesehatan ayahnya justru semakin membaik. Bahkan salah satu perumus dasar negara Indonesia itu mengabarkan bahwa ayahnya selama di penjara mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori berkali-kali.

“Alhamdulillah, kesehatannya justru semakin membaik. Selama dalam penjara, Hadhratussyekh bisa mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhori berkali-kali,” terang Kiai Wahid kepada Saifuddin Zuhri.

Alakullihal, dua tahun berlalu sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda belum surut. Bahkan KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku dalam Orang-orang dari Pesantren (2001) mencatat, pada 21 Juli 1947 Belanda melakukan serangan secara tiba-tiba di wilayah Republik Indonesia.

Dalam serangan kejuatan tersebut, tentu saja banyak korban berjatuhan, terutama para pejuang santri, baik dari Hizbullah dan Sabilillah. Hampir setiap hari umat Islam melakukan gerakan batin di samping kesiapsiagaan militer. Tiap-tiap sembahyang dilakukan qunut nazilah, sebuah doa khusus untuk memohon kemenangan dalam perjuangan.

Sebab serangan pada 21 Juli 1947 itu, daerah RI semakin menciut. Istilah KH Saifuddin Zuhri tinggal selebar godong kelor (daun kelor). Daerah tersebut hanya meliputi garis Mojokerto di sebelah Timur dan Gombong (Kebumen) di sebelah barat dengan Yogyakarta sebagai pusatnya saat itu.

Kota Malang jatuh dalam agresi Belanda 21 Juli 1947 tersebut. Jatuhnya kota perjuangan pusat markas tertinggi Hizbullah-Sabilillah ini cukup mengejutkan Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ketika berita musibah itu disampaikan oleh Kiai Gufron (Pemimpin Sabilillah Surabaya), Kiai Hasyim Asy’ari sedang mengajar ngaji.

Begitu berita buruk itu disampaikan, Kiai Hasyim Asy’ari seketika memegangi kepalanya sambil berdzikir menyebut nama Allah SWT: “Masyaallah, Masyaallah!” lalu pingsan tak sadarkan diri. Hadhratussyekh mengalami pendarahan otak setelah diperiksa. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya telah parah.

Utusan Panglima Besar Soedirman dan Bung Tomo yang khusus datang untuk menyampaikan berita jatuhnya Malang tidak sempat ditemui oleh Hadhratussyekh. Malam itu tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan 25 Juli 1947, Hadharatussyekh KH Hasyim Asy’ari menghembuskan nafas terakhirnya dengan membawa kepedihan mendalam atas apa yang menimpa bangsa Indonesia.

Kalangan pesantren berduka, rakyat Indonesia menangis ditinggalkan ulama kharismatik dan pejuang kemerdekaan yang gigih. Rakyat, santri, dan para pejuang seakan tidak percaya ditinggalkan seorang ulama yang selama ini menjadi panutan dan sandaran dalam perjuangan. Apalagi dalam kondisi saat itu, rakyat masih membutuhkan perannya sebagai penggerak dalam upaya-upaya memerdekakan bangsa Indonesia.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi