Fragmen

Cerita KH Saifuddin Zuhri saat Dengar KH Wahid Hasyim Wafat

Sab, 25 April 2020 | 09:30 WIB

Cerita KH Saifuddin Zuhri saat Dengar KH Wahid Hasyim Wafat

KH Abdul Wahid Hasyim. (Foto: Dok. Perpustakaan PBNU)

KH Saifuddin Zuhri mengenal dengan baik KH Wahid Hasyim. Selain berjuang bersama dalam melawan penjajah dan pemberontak dalam negeri, interaksi keduanya juga dalam urusan internal organisasi Nahdlatul Ulama yang saat itu terus berjibaku melawan kolonialisme.

Saking dekatnya hubungan persahabatan kedua ulama tersebut, KH Wahid Hasyim kerap memanggil KH Saifuddin Zuhri dalam pertemuan-pertemuan penting di tengah penjajahan. Bahkan, KH Saifuddin Zuhri juga tidak jarang meneruskan surat-surat perjuangan KH Wahid Hasyim ke tengah-tengah masyarakat.

Kedekatannya dengan KH Wahid Hasyim, bahkan beliau sudah dianggap gurunya sendiri oleh KH Saifuddin Zuhri membuat dirinya terpukul ketika mendengar Kiai Wahid wafat karena kecelakaan dalam perjalanannya menuju Jawa Barat, di sekitaran Bandung.

Saat itu pada Ahad, 19 April 1953 Kiai Saifuddin Zuhri mempunyai firasat yang tidak enak. Berangkat dari perasaan tersebut membawa Kiai Saifuddin berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta cepat. Sepanjang perasaan tidak enak terus menggelayuti Kiai Saifuddin Zuhri.

Setelah beberapa jam perjalanan, kereta yang ditumpangi KH Saifuddin Zuhri tiba di Stasiun Cirebon. Stasiun yang cukup legendaris baginya ini biasanya berhenti agak lama sehingga membuatnya terlebih dahulu untuk sholat jama’ dan menikmati makanan khas di beberap warung.

Namun, perasaan yang terus tidak menentu tersebut membuat Kiai Saifuddin Zuhri hanya memilih untuk menyeruput secangkir kopi panas. Di tengah sedang asik ngopi, tiba-tiba masuklah seorang pemuda. Ia menepuk punggung Kiai Saifuddin Zuhri sambil meletakkan ranselnya di kursi sebelahnya.

Pemuda tersebut langsung saja menegur Kiai Saifuddin yang sekilas memang pernah melihatnya. Konon pemuda tersbut merupakan seorang wartawan. Tapi Kiai Saifuddin tidak mengetahui dari koran apa.

Kiai Saifuddin bercerita bahwa ia hendak ke Jakarta. Lalu diberitahu sang pemuda, apakah dia belum mengetahui kabar tentang KH Wahid Hasyim. Segera perasaan tidak enak Kiai Saifuddin kembali menggelayut.

“Tadi pagi sekitar jam 10.30 KH Wahid Hasyim meninggal dunia di dekat Bandung dalam suatu kecelakaan mobil,” kata sang wartawan yang mengetahui kabar tersebut melalui siaran radio. (Baca Berangkat dari Pesantren, 1987: 408)

KH Saifuddin Zuhri tidak memerlukan informasi tambahan terkait kabar karibanya itu. Ia langsung bergegas menuju lokasi angkutan yang bisa membawanya ke Bandung. Setelah berjibaku dengan angkutan umum yang kala itu masih sangat jarang, ia tiba di Bandung.

Setelah melakukan kontek dengan beberapa kawan dan tokoh-tokoh NU Bandung, ia sadar jenazah Kiai Wahid Hasyim sudah dibawa ke Jakarta. Tak banyak pikir, Kiai Saifuddin Zuhri menuju Jakarta, tepatnya ke rumah duka di Jalan Taman Matraman No. 8 Jakarta.

Ia mendapati rumah duka yang sudah sepi pada Senin, 20 April 1953, Kiai Saifuddin hanya bisa pasrah dan ikhlas melepas kepergian sahabat seperjuangan dan gurunya itu. Ia sempat membantu membereskan kursi-kursi bekas ribuan pentakziah. Kiai Wahid Hasyim dimakamkan di kompleks makan Pesantren Tebuireng di Jombang.

Diinformasikan bahwa KH Wahid Hasyim wafat pada usia 39 tahun karena kecelakaan di daerah Cimahi saat hendak menuju Sumedang, Jawa Barat. Selama ini, cerita Kiai Wahid ke Sumedang hendak berkegiatan apa menjadi misteri.

Menurut Sejarawan Sunda Iip D Yahya (2020), perjalanan Kiai Wahid saat itu hendak menghadiri kegiatan hari lahir Nahdlatul Ulama di Sumedang. Cerita ini Iip dapatkan dari Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumedang Idad Isti’dad.

Dulu ayah Idad Isti’dad, Kiai Ahmad Falah adalah sosok yang mengundang Kiai Wahid Hasyim ke Sumedang untuk Harlah NU yang agak terlambat sebetulnya karena sudah bulan April.

Saat mengundang Kiai Wahid, Kiai Falah datang ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta. Ia menginap selama dua hari karena menunggu kehadiran Kiai Wahid yang saat itu tengah melakukan perjalanan dinas ke Palembang, Sumatera Selatan.

Lalu, saat melihat Kiai Falah sudah begitu kucel, Kiai Wahid mengajaknya ke rumah untuk mandi. Ayah Gus Dur itu juga memberikan baju kepada tamunya itu. Ada pertanyaan di benak Iip D Yahya bahwa di tengah kesibukannya, Kiai Wahid Hasyim masih menerima undangan Kiai Falah tersebut.

Ternyata menurut Iip, Kiai Falah merupakan saksi sejarah yang aktif sebagai panitia dalam Muktamar NU di Bandung dan Menes. Kiai Falah merupakan panitia Muktamar tahun 1932 di Bandung ketika itu dia merupakan santrinya Kiai Dimyati Sukamiskin. Lalu, dia juga menjadi panitia ketika dia mesantren tahun 1938 di Menes.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi