Fragmen

Sejarah NU Wonopringgo (5): Geliat Kaum Perempuan di Wonopringgo

Jum, 24 April 2020 | 18:00 WIB

Kiprah para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) di Wonopringgo, yang telah hadir sejak tahun 1930-an, memberi kesan yang cukup mendalam bagi kebanyakan warga masyarakat yang kini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pekalongan tersebut.

Mulai dari usia tua hingga kanak-kanak, hampir semua masyarakat di sana telah mengenal organisasi berlambang bola dunia dilingkari tali dan bintang sembilan. Faktor keluarga tentu juga memiliki peran tak kalah penting, dalam menyumbang regenerasi kader baru NU di Wonopringgo.

Pun dengan kaum perempuan, yang kemudian tergabung dalam wadah organisasi bernama N.O.M. (Nahdlatoel Oelama Moeslimat) Wonopringgo. Penulis mencatat geliat awal kaum perempuan di Wonopringgo yang juga diinisiasi oleh Muslimat NU setempat.

Dimulai dengan berdirinya Kring NU Wonopringgo pada tahun 1939, yang setahun kemudian mendirikan lembaga pendidikan bernama Madrasah NU. Tak berselang lama, tahun 1941, para pengurus Muslimat NU di sana pun tidak mau ketinggalan, dengan mendirikan Madrasah Al Banat, yang dikhususkan bagi siswa putri.
 
Baca juga:

Rupanya pidato Kiai Ilyas pada pertemuan pengurus Kring NU Wonopringgo di tahun 1940, memberikan asa bagi kaum perempuan Wonopringgo untuk ikut serta berjuang bersama suami mereka. Kata Kiai Ilyas kala itu: “Oleh karena di sini kita kaoem laki-laki mendjadi N.O. (Nahdlatoel Oelama), maka soedah semestinja kaoem istri kita mendjadi N.O.M. (Nahdlatoel Oelama Moeslimat)!”

Semangat untuk memajukan kaum perempuan diwujudkan dengan mendirikan lembaga pendidikan khusus putri. Kemudian, hampir dua dekade berselang setelah kehadiran Madrasah Al Banat atau tepatnya pada tahun 1958, didirikan pula Madrasah Muslimat Islam (MMI). Begitulah, sepenggal kiprah di masa awal dari kaum perempuan yang tergabung dalam organisasi NU Muslimat Wonopringgo.

Pada periode-periode berikutnya, kiprah mereka dalam usaha memajukan kaum perempuan tentu ikut terbantu dengan kehadiran Fatayat NU, yang kala itu kehadirannya seiring dengan menjamurnya grup rebana kasidah yang semakin populer bagi masyarakat Indonesia.

Di tahun 1960-an, tak jauh dari Wonopringgo, yakni di daerah Kranji Kedungwuni, merupakan kampung kelahiran Rofiqoh Darto Wahab, sang pelantun rebana kasidah ternama.

Juga dengan lahirnya IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama), turut memberi sumbangsih bagi kemajuan, khususnya di kalangan kaum remaja putri. Madrasah Muslimat Islam yang kemudian menjadi Pendidikan Guru Agama (PGA) juga Madrasah Al-Banat yang kemudian berganti nama Sekolah Rakyat Islam (SRI), menjadi basis untuk mencetak kader Fatayat NU serta IPPNU Wonopringgo.

Di luar struktural kelembagaan yang telah disebutkan di atas, tentu keberadaan sejumlah pondok pesantren yang ada di Wonopringgo, yang notabene sebagai tempat untuk menimba ilmu bagi para santriwati, baik bagi mereka yang tak dapat menikmati kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal, maupun bagi mereka yang dapat menikmati keduanya, menjadi bagian yang tak kalah penting dalam usaha memajukan kaum perempuan di Wonopringgo.

Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Fathoni Ahmad