Fragmen

KH Hasyim Adnan: Orator Ulung dan Aktivis Dakwah di Jakarta (2)

Sab, 1 Februari 2020 | 08:15 WIB

KH Hasyim Adnan: Orator Ulung dan Aktivis Dakwah di Jakarta (2)

(Foto: koleksi keluarga)

Menikah dan Berkeluarga
KH Hasyim Adnan (1939-1988 M) selain memberikan ceramah di atas mimbar juga memberikan ceramah melalui pengajian, salah satunya pengajian Ahad pagi di Masjid Istiqlal. Dari pengajian ini, ia juga menemukan belahan jiwanya, sosok perempuan pujaan hati yang umurnya sepuluh tahun lebih muda dari dirinya, yaitu Khairunnisa, Muslimah asal Jakarta berdarah Pakistan yang rajin mengikuti pengajiannya.
 
Khairunnisa yang lahir di Jakarta pada 26 Juni 1949 adalah anak ke-2 dari sebelas bersaudara dari pasangan H Ahmad bin H Muhammad dan Aminah binti Ibrahim. Setelah menikah, mereka tetap tinggal di Gunung Sari 9, Jakarta Pusat.

Tidak perlu waktu lama bagi keduanya untuk menikah karena keduanya sama-sama saling mengagumi. Terlebih bagi Khairunnisa yang tentu sangat kagum karena sang guru yang mengajarnya adalah orang alim yang ternyata menyukai dirinya. Pernikahan pun dilangsungkan pada tahun 1969.

Rupanya, pasangan ini memiliki keyakinan bahwa banyak anak, banyak rezeki. Setiap anak memiliki rezekinya masing-masing. Karenanya, pernikahan mereka melahirkan sembilan orang anak, yaitu Rahmatun Nazilah (1969); Jalaluddin Akbar (1971); Aida Makbulah (1972); Jamaluddin Faisal Hasyim (1975); Sulaiman Haikal (1976); Ummu Habibah (1978); Ayatullah Muhammad Ali (1979); Robiatul Adawiyah (1981); dan Nida Najibah Hanum (1987).

Ketika anak keduanya lahir, yaitu Jalaluddin Akbar, mereka berpindah ke Jalan Pramuka, Jakarta Pusat. Di tempat tinggal yang baru ini dakwah Kiai Hasyim semakin berkibar.

Mendidik Anak dengan Tadabbur
KH Hasyim Adnan adalah tipe bapak yang sangat sayang dan peduli dengan tumbuh, kembang dan pendidikan anak-anaknya. Sesibuk apapun ia berdakwah, bekerja atau beraktivitas, ia tetap meluangkan waktu untuk berkumpul dan bercengkrama dengan anak-anaknya.

Ia selalu berusaha meluangkan waktu berlibur untuk anak-anaknya untuk pergi bertamasya ke berbagai tempat, seperti ke pantai Sampur, Tanjung Priok, Jakarta Utara atau ke daerah pegunungan. Bukan hanya anak-anaknya yang diajak, tetapi beberapa murid di lembaga pendidikannya juga diajak.

Di tempat liburan inilah, ia mengajak anak-anaknya untuk tadabbur, melakukan perenungan yang menyeluruh untuk mengetahui maksud dan makna dari suatu ungkapan secara mendalam. Seperti yang ia lakukan kepada Aida Makbulah, anak ketiganya yang perempuan dan masih menempuh pendidikan di SD, ketika ia ajak berlibur ke pegunungan. Ia bertanya kepada putrinya ini,” Apa yang kamu lihat?”

Putrinya menjawab, ” Pemandangan.”

“Pemandangan apa?” tanya Kiai Hasyim Adnan.

“Gunung,” jawab putrinya dengan tangkas.

“Pelajaran apa yang kamu bisa ambil dari gunung?” tanya KH Hasyim Adnan kepada putrinya. Putrinya terdiam. Ia tidak mampu menjawab.
 
KH Hasyim Adnan menimpali, ”Jadilah gunung yang dipandang orang, jangan menjadi rumput yang hanya diinjak-injak orang!”  

Begitu pula ketika berlibur ke pantai, seperti ke pantai Sampur, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia menjelaskan kepada putrinya, Aida Makbulah, tentang makna perahu dan nelayannya yang semula terlihat utuh di pandangan mata, lama-lama terlihat mengecil karena terus menjauh ke lautan dan kemuian hilang tidak terlihat lagi. Maknanya bahwa jadi manusia jangan sombong atau takabur karena apa yang dimiliki dan disombongkan akan hilang juga. Ia juga menasihati putrinya ini yang masih duduk di bangku kelas 5 SD agar kelak ketika telah berumah tangga dapat menjadi istri sekaligus ibu, kakak dan adik kepada suami.

Ketika KH Hasyim Adnan mengajak anak pertamanya, Rahmatun Nazilah, ke stasiun kereta api. Ia mengatakan kepada putrinya bahwa orang-orang di stasiun kereta api ini tadinya bersama-sama dalam satu kereta api, tapi kemudian mereka berpisah ketika tiba di stasiun kereta api tujuan, ada yang turun di Karawang, Cirebon, dan lain-lain. Begitulah manusia hidup, tidak bisa selamanya bersama, tentu ada saatnya untuk berpisah.

KH Hasyim Adnan juga memberikan nasihat kepada putri sulungnya, Rahmatun Nazilah, untuk tidak menahan atau menyimpan rezeki atau uang yang ia dapat terlalu lama dan terlalu banyak. Segeralah untuk dikeluarkan karena jika terus disimpan, ibarat air yang mengalir di sungai, ketika air tersebut tertahan dengan bebatuan, maka akan meluap dan menimbulkan musibah berupa banjir. Begitu pula jika rezeki ditahan tidak dikeluarkan, maka ia akan meluap dan mengenai pemiliknya dengan berbagai musibah.
 

Menjadi PNS yang Kritis
Profesi KH Hasyim Adnan meluas ke pemerintahan ketika ia iangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Agama RI. Sebagai PNS, ia sempat menduduki jabatan sebagai Penasehat Menteri Agama RI yang ketika itu dijabat oleh H Alamsjah Ratoe Perwiranegara. Ia tidak pernah keluar dari PNS selama hidupnya dan terakhir golongan PNS-nya adalah Golongan II C. 

Walau sebagai PNS, tetapi ia tetap seorang mubaligh, juru dakwah, yang tetap kritis terhadap pemerintah. Dalam aktivitas politiknya, ia juga konsisten untuk tetap berada di partai Islam, Partai NU dan kemuian PPP, walaupun ia kerap dibujuk untuk pindah ke Golkar. Akibat aktivitasnya di PPP dan ceramah-ceramahnya yang kritis, ia pernah masuk penjara ketika memberikan ceramah dan orasi sebagai juru kampanye nasional (Jurkamnas) PPP di Provinsi Aceh pada tahun 1977, walaupun tidak terlalu lama ia dipenjara, yaitu kurang dari sebulan, Ia ingat betul yang memenjarakannya ketika itu adalah Aang Kunaefi Kartawiria, Panglima Kodam I Iskandar Muda, Provinsi Aceh.  

Bukan sekali dan di Aceh saja ia dipenjara, tetapi juga kerap ia ditahan dan dipenjara untuk alasan pemeriksaan. Karena pada waktu itu Rezim Soeharto tidak ingin partai pemilu di luar Golkar mendapatkan suara terbanyak yang mengalahkan Golkar. Karenanya semua cara, termasuk tindakan represif dan intimidatif, dilakukan oleh Rezim Soeharto kepada tokoh-tokoh yang kritis, seperti KH Hasyim Adnan. 

Beberapa kritikan KH Hasyim Adnan terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah, yaitu biaya pendidikan yang tinggi, penembakan misterius (petrus) dan unian berhadiah Porkas (Pekan Olah Raga dan Ketangkasan).

Petrus merupakan suatu operasi rahasia dari Pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang ianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus" (penembak misterius).
 
Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Presiden Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. 

Pada Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Presiden Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Sudomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983.
 
Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Celurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya. Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. 

Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang oleh M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). 

Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup. Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pemegang kekuasaan.
 
Amnesti Internasional pun juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah Indonesia ini. KH Hasyim Adnan berada pada kelompok yang kontra, yang tidak setuju dengan Petrus karena meniadakan proses dan penegakan hukum serta mengabaikan hak asasi manusia (HAM). 

Adapun Porkas adalah jenis unian berhadiah dan praktik perjudian dalam bidang olahraga, terutama sepak bola, yang sempat ada di Indonesia pada zaman Orde Baru. Sebelum direalisasikan, Presiden Soeharto mengirim Menteri Sosial Mintaredja untuk melakukan studi banding ke Inggris. Pemerintah mempelajari sistem undian berhadiah ini selama dua tahun. Mereka ingin menciptakan model undian tanpa menimbulkan ekses judi. Di Inggris sendiri jenis undian berhadiah menggunakan perhitungan-perhitungan sistematik.

Managing National Lottery Distribution Fund Balances, yang dikeluarkan oleh lembaga resmi Inggris, menjelaskan perhitungan lotre di negara itu bukan semata-mata tebakan, tetapi semacam permainan berhitung yang rumit. Pemerintah Indonesia mencoba melakukan hal yang sama. Setelah melalui serangkaian penelitian, Porkas akhirnya diresmikan pada 1985. Aturannya mengacu pada UU No. 2 Tahun 1954 tentang unian. Kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85 bertanggal 10 Desember 1985.

Pemerintah mengklaim porkas berbeda dengan undian hadiah berbau judi sebelumnya. Dalam porkas tidak ada tebakan angka, melainkan penebakan menang-seri-kalah. Peredarannya pun hanya sampai tingkat kabupaten, dan batasan usianya 17 tahun.
 
Para pembeli kupon hadiah ini akan bertaruh untuk 14 klub sepak bola di divisi utama. Setelah 14 klub melakukan pertandingan–berjalan selama seminggu–hadiah akan diundi. Pembagian hadiahnya: 50-30-20, berurutan penyelenggara tebakan-pemerintah-penebak. Ketika itu, timbul pro dan kontra di tengah masyarakat, juga sesama ulama, terhadap Porkas. KH Hasyim Adnan termasuk dalam kelompok yang kontra atau menolak Porkas karena Porkas termasuk dalam judi, dan judi diharamkan oleh Islam.
 

Kepedulian Sosial
Selain kritis, KH Hasyim Adnan juga terkenal sebagai sosok yang peduli dengan sesama. Ia tidak segan-segan untuk mengeluarkan harta yang dimilikinya untuk membantu kepada sesama, kepada tukang minta-minta atau fakir miskin. Misalnya, ia sebagai PNS mendapatkan jatah beras satu karung setiap bulannya. Jatah beras satu karung ini tidak ia habiskan untuk keluarganya, tapi ia bagikan habis kepada fakir miskin setiap bulannya.
 
Di saat pembagian beras ini, orang-orang mengantre, satu orang mendapatkan satu liter. Jika berasnya kurang sementara masih ada orang yang mengantre, maka ia membeli beras dari uangnya sendiri untuk menutupi kekurangannya.

Jika ada seseorang yang mengantre bersama anaknya, maka si anak juga dapat satu liter beras. Atau jika ada seseorang yang sudah mendapatkan jatah satu liter beras kemuian ia mengantri lagi untuk mendapatkan beras, KH Hasyim Adnan tidak memarahinya, ia biarkan saja.
 
Pernah anaknya, Aida Makbulah, menyaksikan hal ini dan mengadu kepadanya, KH Hasyim Adnan malah menasihati anaknya,” Biarkan saja, tidak apa-apa, ia itu perlu beras karena kebutuhannya lebih besar dari yang lainnya.” (bersambung...)
 
 
Ustadz Rakhmad Zailani Kiki, Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta. Kesehariannya menjadi peneliti pada Jakarta Islamic Centre. Ia juga iamanahi sebagai Sekretaris Aswaja Center PBNU.