Fragmen

Ijazah Wirid Mahbub Djunaidi dari Sang Ayah

Sen, 27 Juli 2020 | 12:45 WIB

Ijazah Wirid Mahbub Djunaidi dari Sang Ayah

Mahbub Djunaidi (kiri) dan sang ayah KH Mohd. Djunaidi

 

Bagi Mahbub, sosok sang ayah, KH Mohd. Djunaidi, memberikan banyak teladan baginya, baik secara lisan maupun perbuatan. Di usianya yang beranjak remaja, Mahbub menyaksikan sendiri perjuangan sang ayah, sebagai seorang pejabat yang memiliki karakter penuh kesederhanaan dan komitmen.


Semisal, ketika Mahbub ikut ayahnya, mengungsi ke Kota Solo di masa Agresi Militer Belanda. Di tempat tinggalnya yang baru ini, keluarga Mahbub menempati sebuah pendopo. Meski luas, namun tidak ada perabot yang tersedia. Tentu, sebagai seorang pejabat tinggi, mestinya Kiai Djunaidi bisa memilih tempat yang lebih baik untuk ditinggali.


Namun alih-alih mencari rumah yang bagus dan lengkap dengan perabotannya, ia justru tinggal di sebuah pendopo. “Berhubung pemerintah sendiri masih repot, urusan rumah bukan menjadi perhatiannya,” kata Kiai Djunaidi memberi pengertian kepada keluarganya.


Selepas masa perang, Kiai Djunaidi kembali ke rumahnya di Tanah Abang Jakarta. Di masa krisis, ia pun mesti tetap bekerja agar mendapatkan penghasilan selain menjadi abdi negara. Tercetuslah ide untuk membikin kursus mengemudi. Namun, tanggapan sinis justru datang dari salah satu pamannya.


“Mau mengajar stir mobil? Setan kubur mana yang membuat kamu pikun? Kau pegawai tinggi, kau berpendidikan. Buka stir mobil tak masuk akalku sama sekali. Mendingan kau nongkrong (mengajar) di langgar dari pagi sampai malam, barangkali lebih terhormat,” kata si paman.


Namun, ya begitulah Kiai Djunaidi, karakternya hampir sama persis dengan Mahbub, kalau sudah memiliki tekad: Sekali layar terkembang pantang surut berpantang! Kiai Djunaidi meminjam mobil tua milik kawannya bermerk Ford keluaran tahun 1933. Dari profesi barunya itu, Kiai Djunaidi dapat mencukupi kebutuhan keluarganya.


Khusus soal pendidikan anak-anaknya, Mahbub pula yang mendapat perhatian lebih dari sang ayah. Mahbub kecil, tak betah belajar di sekolah, apalagi mengaji di surau, kemudian diajar sendiri oleh ayahnya. Seperti yang terangkum dalam buku Mutiara yang Tak Terlupakan: Profil Pemikiran Tokoh-Tokoh Peradilan Agama di Indonesia (Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2012)


“Begini, dari jam 4 sampai maghrib, kemudian habis maghrib sampai isya, akan kudahulukan nahwu-shorof. Karena menurut kiaimu, kau tak mengerti apa-apa. Bahkan maksudnya pun kau tak mengerti. Kemudian tajwid. Baca Al-Qur’an bukan seperti baca Koran yang bisa semau-maunya. Di sela-selanya kuberikan akhlak. Menurut Kiai Dimyati (guru Mahbub di Mambaul Ulum, pen), akhlakmu itu tidak lumrah, dan ini memalukan. Sebagai ekstra, kaum mesti hafal Barzanji di luar kepala,” kata Kiai Djunaidi kepada Mahbub.


Tak lupa, Kiai Djunaidi juga memberikan beberapa amalan atau ijazah wirid kepada putra sulungnya itu. “Kuberikan kau amalan, salawat Nariyah, ini perlu untuk keselamatan. Amalan itu harus dibaca 4444 kali. Begitu habis, diulang lagi, diulang lagi,” kata sang ayah seraya menyodorkan secarik kertas.


Sejak kecil Kiai Djunaidi menanamkan betul kepada putranya, untuk tidak tunduk kepada kekuasaan, lebih lagi kepada penjajah. “Tenno Heika itu seorang manusia. Jangan membungkuk sampai begitu, seperti seorang ruku’ sembahyang. Betapapun kuasanya, dia manusia,” tegurnya kepada Mahbub.


Kiai Djunaidi sendiri dikenal sebagai seorang pejabat yang alim. Djunaidi kecil tumbuh dalam lingkungan yang religius, yakni di daerah Kwitang Jakarta, di mana terdapat banyak ulama saat itu antara lain yang masyhur, yakni Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang). Semasa remaja, Djunaidi mengenyam pendidikan di Madrasah Jamiat Kheir, sebuah sekolah Islam modern pertama di Betawi. Kiai Djunaidi wafat pada 28 Oktober 1958 dan dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Karet, Tanah Abang, Jakarta.


Sedangkan Mahbub, yang lahir pada tanggal 27 Juli 1933, menyusul sang ayah, berpulang keharibaan Allah SWT pada tanggal 1 Oktober 1995 dan dimakamkan di Bandung, Jawa Barat. Untuk keduanya, Lahuma Al-Fatihah!


Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Abdullah Alawi