Opini

Virus Kemanusiaan

Sab, 21 Maret 2020 | 05:00 WIB

Virus Kemanusiaan

Ilustrasi: wallpaperflare.com

Oleh Abdullah Wong
 
Sebagai sebuah fakta, Covid-19 bukan kepastian. Entah dari mana asal-usul yang pasti, setiap orang berspekulasi dan bertanya-tanya. Dari menyeret wacana virus sebagai konspirasi global, perang farmasi, senjata biologi, keseimbangan alam, hingga petuah religius tentang azab atau hukuman Tuhan. Tanggapan publik juga beragam. Dari sikap wajar, panik yang berlebihan hingga menjadikan Covid-19 sebagai guyonan, bahkan dijadikan tik-tok dan lagu dangdut. Cara tafsir sekaligus sikap itu kemudian menjadi rangkaian peristiwa kebudayaan. Begitulah kita.

Wabah Covid-19 memang bukan tsunami, gempa atau letusan gunung yang dampaknya seketika dan langsung menimpa korban. Bilamana tragedi bencana tsunami, gempa, atau letusan gunung, bantuan dari pelbagai pihak akan segera berdatangan. Lalu atas nama kemanusiaan, pihak "selamat" yang tidak terkena bencana seakan menempatkan diri sebagai pihak yang "mampu" menolong "mereka" yang tertimpa bencana. Spanduk dan baliho dipasang. Dengan desain begitu rupa berupaya mengajak untuk peduli kepada korban bencana.

Kini, bencana berupa Covid-19 tengah menyebar ke mana suka. Wabah Covid-19 begitu potensial dan laten. Diyakini, wabah ini dapat menimpa siapa pun dan di mana pun. Wabah ini bukan lagi bencana Iokal di lereng gunung atau pinggir pantai, tapi potensial mengancam semua wilayah. Jika demikian yang sedang terjadi, lalu siapa yang akan menempatkan diri sebagai penolong? Kemudian siapa yang harus peduli? Lalu siapa yang merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu atas nama kepedulian dan tentu saja atas nama kemanusiaan?

Ternyata ketika manusia diposisikan sebagai korban atau khawatir menjadi korban, langkah yang dipilih manusia ternyata menjadi tidak peduli. Kata lain, ketika prinsip manusia dan kemanusiaan terancam, manusia tak peduli lagi pada nilai kemanusiaan. Harga sabun cuci tangan yang murah, tiba-tiba meroket. Masker yang harganya tak lebih mahal dari bakso, tiba-tiba menjadi langka. Kalau pun ada masker dipatok dengan harga selangit. Semua fakta ini tentu belum memasukkan harga kebutuhan lain yang secara nyata jelas bisa mengancam.

Jika corona sungguh menghampiri kita sebagai malaikat maut, apakah kemudian kita merasa berhak menghapus prinsip kemanusiaan kita?  Pun jika corona hanya melintasi kita sebagai angin yang menyapa, akankah kita congkak tanpa waspada dalam menyikapi? Awal-awal ketika publik mendapat kabar adanya pasien yang terkena virus corona, entah kenapa sikap publik tiba-tiba menjadi hakim yang menelanjangi kepribadian korban. Bukan mendukung dan mendoakan, tapi malah mencerca dengan sejumlah asumsi tentang kesalihan.

Pesan Kesepian dari Corona
Ketika Covid-19 memapar ketakutan massal, kenapa yang ditawarkan social distance, padahal situasi yang dikhawatirkan adalah physical distance. Kenapa kita lebih fokus mengampanyekan daya tahan tubuh, sementara daya tahan jiwa dan kemanusiaan terabaikan?

Lantaran kita takut kepada relasi sosial, maka corona memaksa kita untuk mengurangi secara drastis relasi antarmanusia terutama dalam keramaian. Mungkin corona sedang menggiring agar kita menikmati kesendirian, kesunyian dan kesepian. Tapi apakah ajakan agar kita menyepi layaknya para petapa akan berhasil?

Selama kita sibuk berandai-andai dengan ragam ketakutan tanpa kewaspadaan, menyepi hanya jadi penjara yang sangat menyiksa. Kita akan kehabisan ahwal atau momentum dalam mengulum sepi. Selama kita makin merasa segalanya, serbuan Covid-19 atau wabah apa pun, tak akan mengubah kesadaran. Setidaknya kesadaran betapa alam yang kita huni tak bisa diremehkan. Kini, alam setelah sekian kali diremehkan, melalui Covid-19 seakan sedang memberikan penegasan. Bahwa manusia harus segera menepi dan menyepi.

Sehingga, atas nama nyawa, semua perhelatan dan acara-acara ditunda bahkan dibatalkan. Atas nama kehidupan yang lebih panjang, seluruh kegiatan pertemuan antar manusia dibekukan. Kenapa? Karena pertemuan demi pertemuan ternyata tak menjadikan kita semakin manusiawi. Kita mungkin malah makin lebih anjlog menjadi binatang bahkan lebih rendah lagi. Perkumpulan dan pertemuan yang selama ini kita gelar sebenarnya hanya menjadi selebrasi keakuan demi keakuan.

Tapi selebrasi keakuan yang selama ini kita gelar kini dipertanyakan alam melalui wabah yang bernama corona. Ia didatangkan seraya membawa pesan, "Masihkah semua ini diselenggarakan selalu tentang diri kita sendiri?!"  

Perayaan panik dan kecemasan yang "disponsori" corona, benar-benar memaksa kita untuk tidak punya pilihan, selain mengulum senyap dan berselimut sepi. Situasi seperti ini, sebagaimana yang pernah diungkapkan Chairil Anwar, bahwa "hidup hanya menunda kekalahan." Kepastian akan datangnya kekalahan kemudian dimaknai sebagai pedoman atau pemandu bagi setiap yang hidup dalam menyikapi dan memaknai misteri kehidupan.

Walhasil, di tengah gelombang kecemasan atas wabah itu, seruan dari bilik-bilik pesantren, bisikan para kiai kampung yang bersahaja tentang la takhaf wa la tahzan (tak perlu khawatir lagi bersedih), kiranya menjadi wahana pelipur di tengah kekalutan. Kita hanya bisa menjadi saksi atas setiap kekalahan demi kekalahan. Jika bukan hari ini, mungkin esok, atau esok lusa nanti. Satu keniscayaan yang mustahil terbantah, bahwa setiap kita, pasti dikalahkan.
 

Penulis adalah Kuncen Padepokan Umah Suwung, Pengurus Lesbumi PBNU