Opini

Semesta Cahaya Manusia

Rab, 29 Juli 2020 | 22:00 WIB

Semesta Cahaya Manusia

Kehidupan ini memang kompleks apalagi saat ini, berbagai kemajuan melingkari. Tersebar gambaran-gambaran semu yang memikat. Tidak aneh ketika banyak orang kehilangan cahaya, terutama cahaya Ilahi.

Ketika kita berpikir tentang manusia, atau bertanya kepada manusia, apa tujuan hidup Anda? mereka akan menjawabnya, “menjadi bahagia”. Saya yakin, 90 dari 100 orang yang kita tanya (bisa jadi lebih) akan serempak menjawab hal yang sama. Ini didasari setiap manusia ingin merasakan ketenangan dan ketentraman. Tidak mau repot dengan kegelisahan apalagi penderitaan.


Sederhana, tapi tidak sesederhana itu. Sejatinya kebahagiaan ada pada diri kita. Yang harus kita sadari, diri ini oleh Allah telah diinstal empat perangkat rasa yang susah kita hilangkan, kita punya keinginan, kita punya harapan, punya juga kegelisahan, dan kemudian penderitaan.


Artinya, perjalanan hidup ini memiliki dua kemungkinan; bahagia dan nestapa. Ketika kita tidak mampu memproses itu dengan baik konsekuensinya adalah kita akan terpenjara oleh diri kita sendiri. Keinginan hanya akan menjadi keinginan, begitupun harapan, begitu pula kegelisahan, apalagi penderitaan, ia bisa semakin merajalela.


Sebenarnya tinggal bagaimana kita mengendalikan dan meminimalisir itu semua menjadi seimbang. Al-Qur’an mengajarkan rumusan sakti, caranya, “bersyukur, maka akan ditambah nikmatnya.” Yang jadi masalah, saat ini banyak orang dibutakan sesuatu yang bersifat sementara, mereka terjebak dan akhirnya kehilangan cahaya.


Cahaya itu luntur dari pandangan hidupnya, kita tidak lagi memaknai esensi dari cahaya bahwa cahaya bersifat menerangi, di saat gelap dan tanpa warna. Bisa jadi, ada di antara kita yang tidak membutuhkan cahaya karena gelap dan terang sama saja, kita tidak mau ambil pusing akan hal itu. Manusia menganggap punya otoritas melakukan segalanya, cahaya hanya akan menyilaukan kehidupan.


Jelas salah kaprah, korupsi, pembunuhan, dan pemerkosaan—manusia kehilangan cahaya. Mereka tidak membalut seluruh hasratnya dengan pancaran cahaya ketuhanan sehingga mereka bebas untuk berbuat apapun. Orang yang sudah dibutakan oleh nafsunya, ia tak pernah menganggap bahwa cahaya itu penting. Yang terpenting hanya dirinya sendiri, kepentingannya sendiri.


Kita harus berpikir bahwa cahaya hakikatnya bukan hanya untuk kita, tetapi untuk kehidupan bersama supaya tidak saling bertabrakan. Sebuah kisah yang ditulis oleh Angelus Silesius, seorang mistikus abad ke-17, “Seorang buta mengunjungi temannya, ia pulang di malam hari, dan si buta diberi lentara supaya menerangi perjalanannya. Di tengah perjalanan ia ditabrak oleh seseorang lainnya yang berjalan, orang buta itu pun kaget dan sontak bertanya, “Kenapa kau tabrak aku, padahal aku sudah membawa lentara, bukankah cahayanya terlihat?” Si penabrak menjawab, “Aku tidak melihat cahaya yang kau genggam, karena lenteramu telah mati.”


Dijelaskan oleh A. Sudiarja dalam bukunya Bayang-bayang Kebijaksanaan dan Kemanusiaan, kisah di atas bukan bermaksud untuk menghina atau mengolok-olok seorang buta, melainkan ada hikmah besar yang bisa kita ambil. Sebuah cahaya di tangan buta ia tidak berfungsi maksimal, karena tidak mengetahui cahaya itu ada atau tidak. Tapi pada posisi lain, sebuah cahaya pada orang yang sudah “dibutakan”, ia tidak peduli, cahaya yang masuk hanya lewat lalu tak berfungsi, menolak kehadiran cahaya. Ia tidak lagi berposisi ditabrak, tetapi menabrak.


Kehidupan ini memang kompleks apalagi saat ini, berbagai kemajuan melingkari. Tersebar gambaran-gambaran semu yang memikat. Tidak aneh ketika banyak orang kehilangan cahaya, terutama cahaya Ilahi. Allah sebagai Sumber Cahaya, dengan kata lain Sumber Motivasi nampak redup dalam aktivitas keseharian kita.


Coba kita cermati karya Ibn Tufail, (mungkin) bisa jadi potret pencarian cahaya yang sesungguhnya, dalam karyanya Ibnu Tufail menulis cerita tentang Hayy ibn Yaqzon, Perjalanan seorang manusia menggali pengalaman spiritualnya. Mencari jalan yang benar dengan berbagai macam tindakan dan pengamatan. Hayy adalah manusia yang hidup di hutan belantara, dalam asuhan Rusa, ia pun sebagai manusia yang berakal, berpikir, dan bernurani mencoba menemukan kebenaran sejati melalui penglihatannya, pendengarannya, rasionya, sekaligus jiwanya. Ia selalu mengamati berbagai macam kebiasaan, binatang, alam, tumbuhan, perubahan cuaca, dan semua gejala. Dan setelah melakukan perenungan panjang, akhirnya ia menemukan Sang Kebenaran, Esensi dari segala Esensi.”


Ketika Anda membaca cerita tersebut pasti banyak sisi menarik yang ditemukan, seorang manusia dalam asuhan rusa melakukan proses pencarian terhadap Sang Penciptanya. Tidak lain itu adalah dorongan spiritual manusia sebagai makhluk yang membutuhkan sandaran. Akan tetapi, dimensi spiritual itu tidak serta merta muncul dengan sendirinya, melainkan harus melalui proses kesadaran manusia. Realitas kehidupan dengan berbagai atributnya terkadang menjadi tabir, menghambat potensi kebaikan kita.


Allah SWT telah memberikan gambaran besar dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syams [91], ayat 7-10, “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (perilaku) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”


Dengan demikian, Allah SWT telah memberikan pelajaran dan pilihan dari dua sudut yang berbeda, ketakwaan dan kefasikan (kejahatan). Sesungguhnya, semua itu terbentuk oleh bagaimana tindakan manusia dalam menjalani proses hidupnya. Apakah ia tercemari hal-hal buruk, atau hal-hal baik.


Kalau kita kaji lebih luas lagi mengenai makna spiritual, tugas spiritual manusia sejatinya mengatasi kesombongannya. Karena hakikat kenyataan, hubungan manusia tidak hanya berhenti dengan Tuhan, melainkan dengan seluruh ciptaan-Nya. Usaha spiritual ini yang dilakukan oleh setiap manusia sebagai strategi bagi perubahan sosial ke arah lebih baik. Artinya, kegiatan spiritual manusia harus mengisi sebagian besar wujud dan eksistensinya.


Membicarakan apapun tentang manusia sebenarnya bukan perkara mudah. Ada seorang pemikir mengatakan bahwa manusia adalah makhluk misterius, ia selalu berubah dari posisi satu ke posisi lainnya, bisa lambat sekaligus cepat. Sedangkan bagi saya, manusia terdiri dari triliunan eksemplar yang susah dibaca, setiap halaman yang disajikan manusia dalam hidup ini tidaklah sama, manusia berbeda dari segi karakter, tempat, dan waktu. Yang mengikat kesamaan manusia hanya identitasnya; agama, budaya, keluarga, dan kebiasaan. Itu pun, sebatas pada posisi tertentu saja, keterikatan identitas juga melahirkan ekspresi naik-turun.


Tulisan ini disajikan bukan untuk menggurui, tetapi sebagai pengingat kita semua bahwa ada sesuatu yang lebih utama dalam hidup ini, ialah bukan matahari berbentuk seperti apa, dan bulan bagaimana, dan bumi bulat atau datar, yang terpenting, bagaimana matahari, bulan, dan bumi adalah sumber cahaya dan kehidupan bagi seluruh manusia, itu esensinya.


Kita seringkali terjebak pada perdebatan luar diri, hal-hal yang di luar ensensi kehidupan kita—sehingga kita berdebat yang bukan kita lalu kita lupa akan esensinya. Dalam Hadits Qudsi Allah menjelaskan, “Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai, dan dalam mahligai itu ada dada, dan dalam dada itu ada hati (qalbu) namanya, dan dalam hati (qalbu) ada mata hati (fuad), dan dalam mata hati (fuad) itu ada penutup mata hati (saghaf), dan dibalik penutup mata hati (saghaf) itu ada nur/cahaya (labban), dan di dalam nur/cahaya (labban) ada rahasia (sirr), dan di dalam rahasia (sirr) itulah Aku kata Allah.”


Dengan demikian, mengenali diri selalu bersifat ke dalam diri sebagai metode memahami Tuhannya, agar kita tidak lupa bahwa kita adalah manusia, tidak sepantasnya berlaku seperti Tuhan. Manusia diciptakan tidak lain untuk beribadah kepada Allah. Dengan demikian, proses perjalanan ke dalam diri harus dengan penghayatan yang mendalam, jujur akan setiap tindakan dan tidak boleh merasa benar.


 

Aswab Mahasin, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah; pembaca setia NU Online