Diktis

Menanggulangi Maniak Medsos dan 'Game' pada Anak

Rab, 3 Juli 2019 | 05:00 WIB

Menanggulangi Maniak Medsos dan 'Game' pada Anak

Ilustrasi: oang tua mendampingi anak agar tidak kecanduan medsos.

Media sosial masih menjadi kekhawatiran bagi orang tua yang memiliki anak ‘di bawah umur’. Usia yang masih terbilang labil ini harus berhadapan dengan kemajuan dunia digital yang semakin berkembang. Tentu saja, jika mampu mengoptimalkannya dengan baik, media sosial akan menjadi fasilitas yang dapat mendukung perkembangan anak.
 
Namun, bagaimanakah kiranya menghadapi anak yang sudah adiktif (kecanduan) dalam media sosial?
 
Dari berbagai penelitian, dampak buruk penggunaan media sosial dan game bagi anak masih mendominasi dibandingkan dampak yang terhitung positif. Misalnya saja, penelitian yang dilakukan Ahmad Shofiyuddin Ichsan di Yogyakarta. Penelitian tersebut dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018.
 
Hasil penelitiannya pada dua sekolah berbeda di Yogyakarta menyebutkan bahwa anak yang memiliki media sosial 71% sudah memiliki rasa dengan lain jenis, bahkan 39% sudah berpacaran. Hal ini menjadi ironis, karena usia mereka belum menginjak dewasa. Dari segi usia, mereka masih labil dalam berinteraksi sosial, sehingga melalui media sosial, mereka bisa mengakses apapun, termasuk gambar-gambar pornografi.
 
Karenanya, dibutuhkan langkah-langkah tepat untuk menanggulangi hal tersebut. Masih menurut penelitian Ahmad Shofiyuddin Ichsan, orang tua memiliki peran penting dalam melakukan pengawasan kepada anaknya. Selain itu juga perlu sinergitas dari lingkungan dan peraturan pemerintah untuk membuat regulasi yang tepat terkait hal ini.
 
Penelitian yang bekerjasama dengan Diktis Pendis Kementerian Agama RI ini menemukan beberapa langkah yang dirasa tepat dijadikan solusi dalam menanggulangi 'maniak' media sosial dan game bagi anak. Solusi-solusi tersebut adalah
 
1. Menanamkan pendidikan agama sebagai pendidikan nilai 
 
Dengan pendidikan agama, anak terus diajarkan cara-cara bersosialisasi yang baik, sehingga di dalam diri anak muncul nilai-nilai sikap dan sifat yang agamis. Tidak hanya itu, perlu juga orang tua memberikan contoh bagaimana hidup yang teratur berlandaskan pada nilai-nilai agama. Pendalaman nilai-nilai agama juga penting ditanamkan dalam diri anak, agar anak mempunyai wawasan tentang batasan-batasan dalam etika beragamanya.
 
2. Mengintensifkan komunikasi di lingkungan keluarga
 
Kesibukan orang tua menimbulkan komunikasi dengan anak sangat berkurang. Maka langkah terbaik adalah mulai mengurangi kesibukan di luar rumah, dan lebih mengintensifkan komunikasi dengan anak-anak. Memang, dengan adanya smartphone telah membantu komunikasi anak dengan orang tua yang sibuk bekerja. Setidaknya hasil penelitian menyebutkan sebanyak 18% smartphone mereka digunakan untuk komunikasi dengan orang tua yang kerja.
 
3. Meminimalisir waktu bermain smartphone
 
Orang tua harus lebih berpikir ulang menyerahkan smartphone kepada anak. Jika susah untuk meminimalisir, sebaiknya orang tua mendampinginya dalam menggunakan smartphone tersebut. Atau sebaiknya smartphone tidak bisa diakses internet secara mudah oleh anak. Meskipun tidak dapat mengakses internet, tentu harus dilihat dan diawasi, sebab saat ini, banyak pula game yang sudah bisa dimainkan mesti tanpa ada jaringan internet.
 
4. Memprioritaskan anak daripada pekerjaan
 
Sudah saatnya orang tua memprioritaskan pekerjaannya untuk anak-anaknya. Jika kedua orang tua sibuk bekerja, keduanya harus berkomitmen dalam membagi jadwal dalam mengawasi anak-anaknya selama di rumah. Tentu hal tersebut memerlukan kematangan berpikir.
 
5. Memahamkan bahayanya jika berlebihan bermedia sosial
 
Jika di dalam keluarga memiliki atmosfer keluarga berpendidikan, langkah terbaik adalah memberikan pemahaman secara utuh dampak negatif dan positif penggunaan media sosial. Sebaliknya jika di dalam keluarga tidak memiliki pendidikan yang cukup, maka ancaman bahaya negatif adalah yang harus dipahamkan ke anak.
 
6. Mencari media alternatif daripada media sosial
 
Memberikan kepahaman kepada anak bahwa media sosial sebenarnya adalah alat untuk mencari informasi (ilmu) baru. Jika anak sudah memiliki kepahaman hal tersebut, orang tua harus mengalihkan media lain selain media sosial dalam mencari informasi apa pun. Misalnya, mengajak diskusi ke keluarga terdekat, sesekali dibawa ke tempat yang ramai agar anak tidak terpaut pada smartphonenya.
 
7. Beraktivitas dalam kegiatan yang lebih produktif
 
Orang tua (yang memiliki anak pengguna media sosial) seyogianya mulai berpikir untuk mencarikan kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat kepada anak. Semakin anak sibuk beraktivitas, lambat laun anak semakin meninggalkan 'maniak' media sosial tersebut dan pada akhirnya tidak ada waktu untuk menggunakannya.
 
Tujuh hal di atas akan menjadi solusi yang efektif, manakala kita memulainya dari diri sendiri. Sebab, terkadang anak-anak menjadi ‘maniak’ karena melihat apa yang dilakukan oleh lingkungannya. Mari bijak dalam menggunakan media sosial. Mari ajarkan anak-anak melakukan hal-hal yang lebih positif. Demi kemaslahatan masa depan bangsa.
 
 
Penulis: Sufyan Syafii
Editor: Kendi Setiawan