Diktis RISET DIKTIS

Bentuk-bentuk Dakwah kepada Korban Bencana Gunung Sinabung

Sab, 6 Juli 2019 | 13:45 WIB

Bentuk-bentuk Dakwah kepada Korban Bencana Gunung Sinabung

Warga di sekitar letusan Gunung Sinabung, Karo (foto: Republika)

Strategi dan model dakwah di Kabupaten Karo, Sumatera Utara menjadi hal yang sangat menarik untuk dibahas. Sebab, strategi dan model dakwah di Karo memiliki kekhasan tersendiri bila dibandingkan dengan daerah lain. Sebut saja Medan misalnya, model dakwah yang banyak berkembang selama ini di kota Medan sebatas dakwah lisan saja. Sehingga, di Kota Medan dipahami bahwa seorang ustadz identik dengan penceramah. Sementara di Karo, ustadz tidak hanya dianggap sebagai sosok yang pandai berceramah saja. Tetapi dianggap sebagai tokoh pemersatu umat, tokoh pembimbing umat, dan tokoh penyalur aspirasi umat.
 
Hal itu terungkap dalam hasil riset yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018. Dalam laporan riset berjudul Benteng Akidah di Kaki Gunung Sinabung Rahmat menyebutkan beberapa strategi yang dilakukan oleh para dai daiyah sebagai berikut:
 
1. Dakwah bil lisan (ceramah)
 
Dakwah dengan metode ceramah, hingga saat ini, tetap menjadi yang model utama dilakukan oleh para dai. Bahkan jadwal pertemuan mingguan rata-rata diisi dengan kegiatan berceramah. Strategi ini memang terbilang sangat simpel karena tidak memerlukan biaya yang banyak, dan waktu yang banyak untuk mempersiapkannya. Bahkan cocok untuk jumlah jamaah yang banyak. Beberapa bentuk kegiatan dakwah secara lisan terlihat deperti dalam khutbah Jumat, ceramah rutin, ceramah pada peringatan hari besar Islam, ceramah pada acara-acara wiridan, khitanan, akikah, dan juga pada duka cita. 
 
Perlu diketahui bahwa di satu sisi memang ceramah sangatlah efektif dan ampuh dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Namun, penyampaian ceramah juga perlu mempertimbangkan kondisi dan situasi objeknya. Umat Islam di Kabupaten Karo yang sedang dirundung duka bencana dan krisis ekonomi bisa jadi tidak selalu suka dengan ceramah dengan durasi yang panjang. Para dai sendiri menuturkan bahwa warga lebih membutuhkan asupan materi dibandingkan dengan asupan ceramah.
 
2. Dakwah bil hal atau perbuatan
 
Beberapa bentuk dakwah dengan perbuatan yang dilakukan oleh para dai di antaranya dalam membrantas buta huruf Al-Qur'an. Pembelajaran baca Al-Qur'an dilakukan karena ketidakmampuan membaca Al-Qur'an tidak hanya terjadi pada anak-anak, melainkan juga pada usia dewasa dan lansia. Beberapa faktor menjadi penyebab hal itu, di antaranya kurangnya minat, tidak mendapatkan pembelajaran yang intens, tidak dalam waktu yang konsisten, bahkan ada juga warga yang mengaku seumur hidupnya tak pernah mendapatkan pelajaran membaca Al-Qur'an. Adapun metode yang dipakai oleh para dai rata-rata menggunakan metode Iqra.
 
Bentuk dakwah bil hal berikutnya denga memberikan teladan dalam pergaulan. Pekerjaan ini sebenarnya tidaklah sulit dilakukan oleh para dai yang menetap tinggal di desa binaanya. Para dai mempergunakan waktu-waktu sela warga untuk dapat bercengkerama dan berbincang santai bersama. Dalam bercengkerama ini akan timbul percakapan-percakapan yang menjadi problematika mereka.
 
Kesempatan tersebut dipakai para dai untuk langsung memberikan solusi bahkan tidak sungkan ikut andil bagian dalam menyelesaikan problematika mereka. Tetapi, bagi mereka yang tidak tinggal di desa tersebut (berjadwal) tentu akan menyulitkan, sebab ia tidaklah terbiasa dengan pergaulan yang ada.
 
Bentuk dakwah dengan perbuatan lainnya yakni menjadi pelaksana ritual keagamaan. Seorang dai di Kabupaten Karo dituntut untuk tidak hanya mampu berceramah, namun juga harus mampu menjadi imam dalam ritual keagamaan, seperti fardhu kifayah, shalat lima waktu, pengelolaan zakat, proses bersyahadat, bimbingan menjelang pernikahan, dan sebagainya. Karena peran-peran ini, tidaklah salah jika dikatakan seorang dai ialah sosok multitalenta.
 
3. Dakwah bil mal atau materi
 
Dakwah bil mal diartikan sebagai dakwah dengan menggunakan materi ataupun harta benda. Ini menjadi strategi dakwah yang mungkin sedikit terdengar komersil, namun dakwah ini lazim dilakukan di Tanah Karo khususnya di daerah terkena dambak bencana Gunung Sinabung. Ketika peneliti bertanya kepada salah seorang dai, dai tersebut mengatakan bahwa dakwah dengan cara memberikan materi kepada jamaah menjadi jurus yang paling jitu untuk menarik minat mereka datang ketempat pengajian atau minat warga terhadap nasihat para dai.
 
Warga juga terlihat sangat senang jika seusai atau sebelum mendengarkan pengajian mendapatkan hadiah dari para dai, walau terbilang pemberian tersebut berharga murah. Para jamaah sering menyebut ustadz yang tidak mau mengeluarkan bantuan materi dengan sebutan 'ustadnya tidak main'.
 
Di sisi lain, dampak bencana Sinabung begitu terasa bagi para dai tatkala rumah-rumah ibadah rusak dan lembaga pendidikan seperti madrasah juga ikut rusak. Akibatnya, menuntut para dai untuk menguras pikiran bagaiamana caranya untuk mengadakan sarana itu kembali. Maka beberapa langkah yang dilakukan oleh para dai ialah dengan turut serta membangun kembali masjid-masjid tersebut.
 
 
Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Kendi Setiawan