Jombang, NU Online
Sejumlah aktivis mahasiswa gabungan dari organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) serta beberapa anggota DPRD Jombang menyatakan menolak terhadap revisi UU MD3 yang dilakukan DPR beberapa waktu lalu.
Pernyataan penolakan ini disampaikan saat para aktivis melakukan dengar pendapat atau hearing dengan anggota DPRD Jombang, Jumat (23/2).
Ketua DPRD Jombang, Joko Triono mengungkapkan, dirinya dengan beberapa anggota DPRD Jombang yang lain juga telah mengkaji perihal revisi UU MD3 itu. Dari hasil kajiannya, setidaknya ada enam fraksi di tubuh partai menyatakan sikap penolakan terhadap revisi yang ada.
Enam fraksi tersebut adalah PDI Perjuangan, PKB, PPP, Partai Golkar, Partai Hanura dan Fraksi Partai Demokrat.
"Bersama teman-teman dari GMNI dan PMII, DPRD Jombang ada 6 fraksi semua sepakat, sama-sama menolak revisi UU MD3 tahun 2017 nomor 17," ujar pria yang kerap disapa JT ini.
Sementara Ketua Umum PC PMII Jombang, Abd Majid lebih jauh merinci, bahwa revisi UU MD3 terdapat sejumlah masalah. Setidaknya ada 7 pasal yang menurutnya perlu ditinjau kembali.
Di antaranya pasal 15 Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 7 (tujuh) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR. "Pasal ini berpotensi pemborosan anggaran negara," tuturnya.
Selanjutnya pasal 73 ayat 4: Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Pasal ini berpotensi membuat DPR sebagai lembaga hukum yang berhak memanggil paksa pihak-pihak yang dinilai wakil rakyat tidak kooperatif,” katanya. Padahal sebagai lembaga politik, pemanggilan tersebut rawan diwarnai kepentingan individu, parpol, maupun institusi DPR sendiri, lanjutnya.
Kemudian pasal 84: Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 5 (lima) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.
Pasal yang juga menjadi sorotan para aktivis ini adalah pasal 122 huruf K: Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
"Pasal ini berpotensi membungkam kritik publik terhadap kualitas kinerja wakil mereka di parlemen," kata dia.
Di samping itu, pasal 245 juga harus dikaji ulang terkait pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR. Sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
"Pasal ini berpotensi mempersulit upaya penegakan hukum jika anggota DPR berindikasi melakukan tindak pidana seperti korupsi maupun pidana lain," jelasnya.
Kemudian juga di pasal 260: Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.
Pasal terakhir adalah pasal 249 ayat 1 huruf J: DPD mempunyai wewenangan dan tugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancanangan peraturan daerah dan peraturan daerah.
"Kewenangan ini berpotensi memunculkan kerancuan tugas dengan eksekutif," tutupnya. (Syamsul Arifin/Ibnu Nawawi)