Banjarmasin, NU Online
Tantangan agama-agama besar mendatang adalah bagaimana memerangi ketidakadilan, kemiskinan, dan merespons isu-isu kemanusiaan secara nyata, yang dilandasi pemahaman pluralisme. Untuk itu, sistem pendidikan seharusnya mengadopsi kearifan lokal dalam hal pluralisme ini guna mengerem eksklusivisme dogma agama yang bisa menjadi pemicu konflik berbaju agama.
Demikian benang merah Dialog Antar-agama Masalah Konflik yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis Ke-37 dan Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis di Banjarmasin, Rabu (2/2) kemarin.
<>Hadir dalam dialog tersebut berbagai kalangan agamawan, di antaranya praktisi perdamaian konflik Poso pdt Ny Lies Sigilipu Saino serta Gazalirrahman dan Ilham Masykuri Hamdie dari Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan Banjarmasin.
Lies mengatakan, sistem pendidikan menyeluruh harus menggali muatan lokal, terutama terkait kearifan lokal dalam memandang pluralisme. Konflik yang berjubah agama sering tercipta akibat kearifan lokal tercabik eksklusivisme agama.
"Selama ini, masing-masing dari kita hidup dalam keyakinan dogma masing-masing," katanya. Oleh karena itu, tambahnya, sistem pendidikan agama harus mampu mengajarkan dengan bahasa-bahasa perdamaian, bukan dengan eksklusivisme.
"Persoalan kita saat ini adalah ketidakadilan dan kekerasan. Akan tetapi, di bangku-bangku sekolah, persoalan ini sering tidak disampaikan," kata Lies. Lies yakin bahwa antarumat beragama bisa menjadikan persoalan kemanusiaan tersebut menjadi agenda besar bersama para pemeluk agama.
Dialog lintas agama
Ilham sependapat bahwa tantangan agama-agama besar bukannya saling klaim kebenaran, melainkan bagaimana memerangi ketidakadilan, kekerasan, dan persoalan kemanusiaan. Konflik sebenarnya lebih dipicu pada kesenjangan ekonomi daripada masalah agama.
"Persoalan pandangan ini lebih kepada budaya, dan budaya ini lebih dipengaruhi pendidikan," katanya. Karena itu, kata Ilham menambahkan, pendidikan menjadi kunci untuk memelihara pandangan pluralisme dan perdamaian.
Saat bersamaan, dialog antarumat beragama juga harus dijalin intensif. Salah satu metode dialog yang efektif adalah dengan saling bekerja sama membawa agenda kemanusiaan untuk ditangani bersama-sama lintas agama.
Gazalirrahman mengatakan, untuk mengawali dialog serta menjalankan kerja-kerja praktis itu, perlu kiranya mengurangi klaim kebenaran agama masing- masing. Tempat-tempat suci agama juga harus mulai mengembangkan ajaran inklusif, bukan menjadi "bilik-bilik suci" eksklusif.
Potensi konflik yang ada di daerah juga harus cepat diidentifikasi. Di Kalimantan, potensi konflik juga ada dan telah memiliki pengalaman sejarah berharga terkait konflik yang digesek-gesekkan ke masalah agama dan etnis. "Untuk mengatasinya, perlu terus dilakukan dialog," katanya. (kcm/cih)
Terpopuler
1
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
2
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
3
Nota Diplomatik Arab Saudi Catat Sejumlah Kesalahan Penyelenggaraan Haji Indonesia, Ini Respons Dirjen PHU Kemenag
4
Houthi Yaman Ancam Serang Kapal AS Jika Terlibat dalam Agresi Iran
5
Menlu Iran Peringatkan AS untuk Tanggung Jawab atas Konsekuensi dari Serangannya
6
PBNU Desak Penghentian Perang Iran-Israel, Dukung Diplomasi dan Gencatan Senjata
Terkini
Lihat Semua