Daerah

Rumah Inklusif Kebumen Produksi Batik Pegon untuk Keberlangsungan Keluarga Difabel

Sab, 3 Oktober 2020 | 05:30 WIB

Rumah Inklusif Kebumen Produksi Batik Pegon untuk Keberlangsungan Keluarga Difabel

Saat anak tunadaksa berlatih membatik (Foto: Dok Istimewa)

Jakarta, NU Online
Sudah sekira tiga tahun Rumah Inklusif Kebumen, Jawa Tengah berkarya dan memproduksi kain batik dengan motif aksara pegon. Terdapat lebih dari 15 edisi cerita batik pegon. Masing-masing, memiliki latar belakang tersendiri. Salah satunya soal proses perjalanan yang dialami Rumah Inklusif selama ini.

 

Pada pertengahan 2017, Pendiri sekaligus Koordinator Rumah Inklusif Nyai Muinatul Khairiyah mengaku kedatangan tamu seorang kerabat dekat yang memiliki keahlian membatik. Kemudian tamu itu memberikan pelatihan membatik selama sekitar 3 jam.

 

"Anak-anak difabel beserta orangtuanya yang ada di sini juga diajari membatik," kata Bu Iin, sapaan akrabnya, kepada NU Online melalui sambungan telepon, pada Jumat (2/10) yang bertepatan dengan peringatan Hari Batik Nasional.

 

Setelah itu, Rumah Inklusif diberi kompor sebagai media atau alat untuk membatik. Seiring berjalannya waktu, keluarga beserta anak-anak difabel yang ada di sana mencoba untuk latihan membatik sendiri.

 

Lama-kelamaan, Bu Iin merasa bahwa proses membatik telah berubah menjadi sarana terapi untuk membangun kedekatan emosional antara anak dengan orangtua. Sebab, mau tidak mau semua orang yang ada di sana harus belajar. Seperti memegang alat canting untuk membatik.

 

Sebagai informasi, Rumah Inklusif adalah sebuah wadah atau tempat berkumpulnya keluarga yang memiliki anak difabel. Di dalamnya terdapat berbagai aktivitas yang dapat membuat hati sang anak dan sekaligus orangtuanya merasa berharga untuk terus menjalani kehidupan.

 

"Kami itu yang penting anak-anak bisa tersenyum. Begitu pun para orangtuanya yang semula mungkin berpikir bahwa anak difabel harus benar-benar sembuh bahkan kerap terjadi tindak kekerasan yang terjadi. Nah, membatik ini jadi media pemersatu antara orangtua dan anak. Terlebih di dalam batik itu kita selipkan berbagai petuah," katanya penuh rasa haru.

 

Kemudian kira-kira satu tahun lebih setelah proses belajar membatik itu, Rumah Inklusif terbersit untuk membuat karakter batik tersendiri. Akhirnya, muncul ide untuk membuat batik dengan motif aksara pegon. Tulisan Arab tetapi berbahasa Jawa kuno yang sarat dengan pesan kebaikan.

 

Dengan logat Jawa Ngapak Kebumen yang sangat khas, Bu Iin menjelaskan bahwa aksara pegon merupakan bahasa isyarat. Dulu, katanya, aksara pegon ini disebut juga pego atau bodoh. Menjadi bahasa isyarat para kiai dan santri agar komunikasi yang terjadi tidak 'disadap' oleh para penjajah.

 

"Kita lantas berpikir untuk mengangkat pegon itu sebagai karakter dari batik yang ada di Rumah Inklusif ini. Saya jadi kepikiran untuk Rumah Inklusif ini mampu mengembangkan tradisi aksara pegon sebagai tradisi bangsa Indonesia. Medianya dengan batik yang dihasilkan ini," katanya, dengan intonasi suara yang sangat menggembirakan.

 

Batik pegon menyejahterakan keluarga 

Seiring perjalanan, kata Bu Iin, dengan memproduksi batik pegon itu Rumah Inklusif mampu menyejahterakan beberapa keluarga yang ada di sana. Semua orang yang ingin berkarya dan memiliki penghasilan harus melalui proses membatik.

 

Kalaupun ternyata tidak memiliki passion atau keahlian dalam membatik pada bagian keproduksian, dibolehkan pula untuk menempati posisi lain agar tetap mendapat penghasilan. Beberapa di antaranya ada yang memilih untuk menjadi tim marketing, yang memasarkan hasil produksi kain batik pegon itu.

 

"Jadi semua orang bisa berdonasi untuk Rumah Inklusif dengan membeli kain batik pegon ini. Karena sebagian dari penghasilan dari penjualan masuk ke kas organisasi untuk keberlangsungan organisasi Rumah Inklusif dalam menghidupi orang banyak," jelas Bu Iin.

 

Ia berharap agar batik pegon ini dapat menginspirasi banyak orang terutama soal nilai-nilai inklusif, cinta kasih, dan rahmatan lil alamin yang dicantumkan menjadi batik itu.

 

"Saya sih berharap batik pegon dengan nilai-nilai yang baik ini bisa semakin membumi sehingga ketika kita semua bisa menjadi orang yang beradab. Inilah ajaran Islam Nusantara itu," tutur Bu Iin, dengan suara yang terdengar penuh harap sekaligus rasa bangga.

 

Vokasi difabel melalui pendekatan kebudayaan Islam Nusantara

Tahun lalu, saat ada acara Ngopi (Nggolet Pituduh atau mencari petunjuk) Bareng Intelektual muda Nahdlatul Ulama Gus Ulil Abshar Abdalla di Pinggir Kali Logawa, Desa Baseh, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Rumah Inklusif diberikan kesempatan untuk memamerkan keterampilan membatik.

 

Karena tertarik pada kearifan lokal, Gus Ulil menghampiri Bu Iin untuk bertanya-tanya soal batik yang bermotif aksara pegon itu. Lalu, bersama sang istri, Ienas Tsuroiya, Pengampu Ngaji Ihya Online ini melihat proses dan menjajal untuk membatik. Momen tersebut direkam dan diunggah di kanal Youtube Rumah Inklusif pada 11 Oktober 2019.

 

"Rumah Inklusif ini melakukan vokasi (pendampingan) terhadap orang-orang difabel melalui pendekatan kebudayaan. (Batik) ini kan ada (unsur) Islam Nusantara, ada vokasi difabel, lokalitas, dan aspek pemberdayaan ekonomi. Islam Nusantara yang keren ya ini (membatik ala Rumah Inklusif)," kata Gus Ulil di dalam video itu.

 

Menurut Gus Ulil, salah satu warisan Islam Nusantara adalah perkawinan antara Islam dan budaya lokal. Hasil dari perkawinan itu melahirkan banyak hal yang sangat menarik.

 

"Salah satu hasil dari perkawinan itu adalah huruf pegon itu namanya. Tulisan Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Jawa, Melayu, Sunda, Banjar, Madura dan bahasa-bahasa lokal yang lain. Tradisi keilmuan inilah yang kemudian dikembangkan di pesantren," jelasnya.

 

Selain itu, Islam Nusantara juga melahirkan banyak kesenian di berbagai daerah. Misalnya, kesenian yang ada unsur keislaman sekaligus terdapat unsur kedaerahan. Seperti tradisi membatik di daerah santri seperti Pekalongan, Yogyakarta, dan Solo yang ada unsur lokalitas tapi juga diserap unsur keislamannya.

 

"Nah, teman-teman (Rumah Inklusif) di Kebumen ini membangun sebuah eksperimen mendampingi teman-teman yang punya kemampuan berbeda (difabel), untuk menceritakan pengalaman mereka dengan menggunakan media batik dan sekaligus arab pegon," katanya.

 

Sembari memegang kain batik dengan motif pegon yang disukainya, Gus Ulil mengatakan bahwa keterampilan Rumah Inklusif sangat kreatif. Sebab menggunakan tradisi Islam Nusantara untuk menceritakan pengalaman traumatik sebagai seorang difabel.

 

"Saya kagum dengan eksperimen ini," tegas Gus Ulil. Sejurus kemudian, ia langsung memutuskan untuk memesan kain batik hitam bermotif tulisan arab pegon ‘Jaa Zaidun’.

 

Sekadar informasi, jika berminat untuk membeli kain batik sebagai bagian dari membantu keberlangsungan Rumah Inklusif dan beberapa keluarga yang didampinginya, dapat  menghubungi Nyai Muinatul Khairiyah (Bu Iin) melalui nomor 0819-1502-0994.

 

Pewarta:  Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan