Daerah

Rezeki Terbaik adalah yang Cukup 

Sen, 7 Juni 2021 | 03:30 WIB

Rezeki Terbaik adalah yang Cukup 

Temu alumni Pesantren Denanyar di Kediri, Ahad (6/6). (Foto: istimewa)

Kediri, NU Online 

Ada cerita menarik dari Kiai Abdussalam Shohib, cicit KH Bisri Syansuri, ketika nyantri di Pesantren Ploso Kediri. Bahwa, masyarakat sekitar Ploso Mojo Kediri itu ketika menyebut para santri Ploso itu dengan sebutan Gus, walau santri tersebut bukan dari keluarga keturunan kiai pesantren. 

 

"Walau bukan Gus, ya dipanggil Gus, oleh masyarakat Ploso," ujar Wakil Ketua PWNU Jatim ini di hadapan para alumni Pesantren Denanyar yang tergabung dalam IKAPPMAM (Ikatan Alumni Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif) Kediri pada Ahad (6/6). Acara berlangsung di kediaman salah satu alumni di Kedawung, Mojo Kediri. 

 

"Guyonannya, masyarakat itu berinteraksi dengan para santri ketika para santri pergi ke luar ketika pasar Pahing. Karena dipanggil Gus pada waktu Pahing itu maka yang bukan gus ini, disebut Gus Paingan," ujar Ketua Majelis Pengasuh Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar ini disambut senyum dan ketawa para alumni. 

 

Kiai Salam juga menekankan agar para alumni menggerakkan keluarga untuk masuk pesantren.  "Kita harus punya semangat memondokkan anak. Menumbuhkan kecintaan pada ilmu." 

 

"Dalam hal tertentu harus tegas kepada anak. Contohnya, 'sampean kudu mondok.' Ini tegas yang penting." 

 

Dalam kegiatan Halal bi Halal IKAPPMAM Kediri dengan kemasan pembukaan kembali pengajian Kitab Kifayatul Atqiya' itu yang dibaca adalah bab qanaah (neriman ing pandum) dan awal bab zuhud. Bacaan ini sama ketika HBH IKAPPMAM yang bertempat di Pesantren Al Azhar Mojokerto, asuhan, pada Ahad (3/5/21).

 

Kiai yang hobi menonton sepak bola ini di samping merujuk kitab Kifayatul Atqiya karya Sayyid Abi Bakr ad Dimyathi, juga mengutip kitab Salalimul Fudhala' karya Kiai Nawawi Banten al Jawi. Kitab yang disyarahi (Hidayatul Adzkiya) adalah tulisan Syekh Zainuddin al Malibary, yang merupakan kakek dari penulis kitab Fathul Muin.

 

Dalam kitab syarah Nazam Hidayatul Adzkiya itu antara lain diuraikan sembilan nasihat yang dipraktikkan para wali. Karena itu sesiapa yang berkehendak meniti metode para wali (kekasih Allah), hendaknya mengaplikasikan sembilan nasehat. Harapannya hatinya dibukakan pintu-pintu pemahaman dan dadanya dicerahkan cahaya keilmuan.

 

Wasiat kedua, setelah taubat adalah qanaah. Qanaah adalah kerelaan menerima sedikit pemberian. Qanaah berasal dari kata kerja lampau, qani'a.

 

"Pesantren itu menumbuhkan karakter santri dengan qonaah. Ini pendidikan perilaku. Cara mendidik kita agar berjiwa qonaah adalah dengan menjauhi kehidupan yang mewah, baik pakaian, tempat tinggal dan seterusnya. Di antara cara melatih qonaah adalah, walaupun kita mampu membeli, kadang ada sesuatu yang tidak perlu kita beli," bebernya.

 

Menurutnya, karena hidup itu fluktuatif, kadang senang dan kadang susah, jika kita tidak membiasakan diri qonaah maka kita tidak akan siap. "Inilah kelebihan pesantren, tanpa membedakan santri dari latar belakang ekonomi dan sosial, semuanya diperlakukan sama. Sama-sama makan tahu tempe. Sekali makan ya sama lauknya. Walaupun kemampuan ekonomi kita berbeda. Pesantren mendidik dengan praktek dan bukan hanya teori dan ngaji," ungkapnya.

 

Menjadi santri adalah kenikmatan. Ketika dikasih sedikit menerima, dikasih banyak bersyukur, sebab pada hakikanya manusia harus menerima apa yang diberikan oleh Allah. Terlebih sebagian ulama menyatakan, "Seorang hamba itu merdeka jika ia berlaku qana'ah. Sebaliknya, "Seorang yang merdeka itu menjadi hamba, ketika ia meminta-minta."

 

Ia juga menyebutkan hadits yang berkaitan dengan keutamaan qanaah ini melimpah. Di antaranya adalah riwayat al-Baihaqy, "Qanaah itu adalah harta simpanan yang tidak musnah. Dengan qanaah, tak akan membawa manusia ketertarikan pada apa yang dimiliki manusia lainnya. Selain itu berdasar hadits yang artinya, 'Orang yang qanaah itu derajatnya luhur. Sementara orang yang tamak (berharap pada pemberian orang lain) akan terhina. Qanaah itu dibangun di atas landasan zuhud dunia'," urainya.

 

Dijelaskan juga, sekaya apa pun manusia, akhirnya ketika ia mati, harta bendanya tak dibawa mati. Semuanya ditinggalkan untuk para ahli waris. Harta yang halal pada akhirnya nanti di akhirat akan dihisab (dievaluasi), dan yang haram akan disiksa.

 

"Hendaknya para manusia merelakan meninggalkan apa-apa yang dicenderungi hati, dan kebanggaan pada makanan, pakaian, dan hunian. Hendaknya ia rela pada apa yang sedikit, yang sekedar menghilangkan lapar, menutupi aurat, menangkal panas dan dingin," lanjutnya.

 

Ia menceritakan sebuah kisah, bahwa suatu saat Sayyidah 'Fathimah az-Zahra datang kepada ayahandanya (Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam) dengan membawa semangkok roti. Kemudian Rasulullah bersabda, "ia (roti) adalah hidangan pertama yang masuk dalam perut ayahmu ini, semenjak tiga hari lalu."

 

Dari kisah itu, dipetik pesan, barangsiapa yang mencari sesuatu yang tidak bermanfaat maka akan kehilangan dua hal. Pertama karena melakukan hal yang tidak ada faedahnya. Kedua, kehilangan sesuatu yang berarti padanya.

 

Dalam pengajian itu kiai penulis buku Biografi Kiai Bisri ini juga menyampaikan tentang rezeki. Di antara tanda-tanda cinta Allah kepada hamba, adalah apabila diberi rezeki yang cukup, sesuai dengan kebutuhannya. Karena kalau berlebihan berpotensi tidak baik. Sebaliknya, rezeki itu kalau terlalu sedikit ya bisa mengganggu.

 

Bagaimanakah, rezeki yang terbaik? Dengan mengutip suatu riwayat, putra Kiai Shohib Bisri ini menjawab, "Yang terbaik itu adalah rezeki yang pas." 

 

Beralih ke bab zuhud, yang merupakan nasehat ketiga dari sembilan nasehat para wali, dinyatakan, "Seseorang yang zuhud di dunia itu akan ditumbuhkan hikmah. Hikmah itu artinya ilmu manfaat yang diamalkan. Kata-kata dan tindakannya penuh dengan hikmah." 

 

Menepis anggapan bahwa zuhud itu harus dalam keadaan miskin, kiai yang merintis pengajian-pengajian kitab dalam acara pertemuan dengan para alumni Denanyar ini menyampaikan tak ada larangan santri sugih (kaya). "Yang penting hatinya tidak tergantung dunia," tegasnya.

 

Hadir dalam pengajian itu dari jajaran pengasuh dan zuriah, adalah Kiai Wazir Ali, Kiai Abdul Wahab Kholil, Kiai Abdul Muidz Shohib, Gus Abdur Rosyid Hafidz, Gus Husnul Haq, Gus Afifuddin, Gus Sholahuddin Fathurrahman, Gus Nurul Huda, Bu Nyai Muhibbah, Bu Nyai Halimah Ahmad, Bu Nyai Hanifah Ahmad dan Ning Nailud Durroh. 

 

Dari jajaran pengurus pusat IKAPPMAM, tampak sembilan pengurus, antara lain Ketua Umum IKAPPMAM dan Sekretaris Umum.

 

Pewarta: Alhafiz Kurniawan
Editor: Kendi Setiawan