Daerah

Negara Harus Hadir dalam Pengelolaan Pelabuhan Indonesia

NU Online  ·  Selasa, 23 Oktober 2018 | 12:30 WIB

Surabaya, NU Online
Diskusi dan bedah buku Melawan Konspirasi Global di Teluk Jakarta dipenuhi peserta. Acara bedah buku fasilitasi KoBar atau Komunitas Baca Rakyat tersebut bekerja sama dengan Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (Uinsa), Senin (22/10). 

Bedah buku menghadirkan penulis buku, Ahmad Khoirul Fata dan Ketua Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI), Nova Sofwan Hakim. Sedangkan pembedah adalah Abdul Halim yang juga Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Uinsa.

Dalam paparannya, Ahmad Khoirul Fata menyoroti aset nasional yang dikuasai asing, khususnya pengelolaan pelabuhan dan kasus perpanjangan kontrak JICT dan Koja (2015-2039) kepada Hutchison Hong Kong. “Dalam kasus tersebut,  hasil investigasi BPK (Badan Pengawas Keuangan) ditemukan pelanggaran kerugian negara mencapai Rp 4,08 trilyun,” ungkapnya.

Hal menarik disampaikan Nova Sofwan Hakim. “Pelabuhan merupakan pintu gerbang perekonomian bangsa yang memegang peran penting dalam lalu lintas perdagangan internasional,” ungkapnya di hadapan hadirin.

Kedua,  jika pola yang dilakukan Pelindo II  diduplikasi oleh BUMN lain,  tanpa disadari akan membuat lepasnya aset strategis bangsa. “Jika BUMN tersebut gagal memenuhi kewajiban dalam pembayaran hutangnya,” urainya.

Sedangkan yang ketiga, Kasus di Pelindo II akan menjadi duri dalam daging dan contoh buruk penerapan Good Corporate Governance. “Untuk itu, siapapun pemerintahan ke depan, FPPI berpendirian bahwa kasus kontrak JICT-Koja harus bisa diselesaikan dalam kerangka penegakan Undang-Undang,” tegasnya. Selain itu negara wajib hadir dalam pengelolaan pelabuhan peti kemas terbesar di Indonesia (JICT dan Koja) untuk menjamin kedaulatan dan keuntungan sebesar-besarnya untuk bangsa, lanjutnya. 

“Terakhir,  secara kemampuan, SDM, peralatan dan teknologi serta pasar, JICT dan TPK Koja sangat mumpuni dikelola secara mandiri. Tidak ada alasan untuk kembali menyerahkan pengelolaan aset strategis pelabuhan nasional ini kepada asing,” katanya.

Ahmad Khoirul Fata, menyapaikan, pelabuhan adalah pintu gerbang ekonomi. Pelabuhan Tanjung Priok adalah 40% arus masuk ekonomi dari seluruh pelabuhan di Indonesia.  “Jika prosentasi itu dikuasai oleh asing,  maka nasib ekonomi kita tergantung oleh asing,” katanya.

Sementara itu,  Abdul Halim memberi rekomendasi agar pengelolahan sejumlah aset strategis negara hendaklah memperhatikan juga nilai kearifan lokal. “Agar tercipta keharmonisan sistem sosial dan budaya nasional dalam NKRI,” ungkapnya.

Dari diskusi bedah buku tersebut, para narasumber berkeinginan bahwa tata kelola pelabuhan Tanjung Priok dan lainnya dikelola mandiri oleh sumberdaya Indonesia. Karena ketersediaannya mampu mengelolah aset tersebut. “Untuk itu mari, selamatkan aset nasional,” tandas Nova Sofwan Hakim. (Ibnu Nawawi)