Daerah

Menjadi Pengarang Harus Berani Merusak Tatanan

NU Online  Ā·  Jumat, 5 Mei 2017 | 10:00 WIB

Kudus, NU Online
Salah satu cara menghasilkan karya sastra terbaik ialah dengan mendekonstruksi suatu peristiwa, tokoh dan juga alur cerita lain. Hal itu diungkapkan sastrawan Indonesia, Triyanto Triwikromo yang menjadi narasumber kuliah tamu di Universitas Muria Kudus, Kamis (4/5).

Mengusung tema Kreatif Menulis Cerpen Sebagai Cara Meningkatkan Budaya Literasi Mahasiswa itu Triyanto memaparkan pengalamannya dalam kepenulisan sastra. Pengalamannya selama 30 tahun berkarya itu tidak lepas dari kebiasaan dan lingkungannya sejak kecil. Ia mulai menekuni dunia literasi sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Masa kecil Triyanto ternyata sudah dihadapkan adanya kepahitan lingkungan yang kriminal. Banyak dari warga di kampungnya saat itu yang menjadikan pelacur atau bandit sebagai pekerjaan. Ditambah dengan kondisi lingkungan alam yang kumuh dan tak dirawat. Meski begitu, hal itu justru dikatakan sebagai keberuntungan.

"Sebenarnya dari kehidupan kampung asal saya itu banyak ide bisa saya angkat yang kemudian menjadi banyak karya," terangnya.

Keberuntungan itu dimulai sebab hobi membaca yang sejak kecil digelutinya. Dari situ ia berpikir bahwa dirinya kelak akan mampu membuat tulisan lebih bagus dari yang ia baca saat itu. Dalam berkarya ia mengaku seringkali merusak tatanan dan kemudian membangunnya lagi yang lebih indah.

"Dekonstruksi itu penting dilakukan dalam kepenulisan untuk menghasilkan hal baru yang indah," tutur redaktur pelaksana sebuah surat kabar ternama di Jawa Tengah itu.

Lebih jauh, ia menyampaikan bahwa karya sastra sesungguhnya bukanlah murni sebuah karangan belaka. Karya sastra adalah hasil dari membaca, observasi dan riset yang dalam mengenai suatu peristiwa. Dari situ muncul ide dan gagasan untuk menciptakan sebuah karya. Triyanto bahkan menyalahkan jika seorang pengarang tidak berani melakukan dekonstruksi. Itu akan berakibat pada kejenuhan dan tidak berkembang.

"Bagi saya justru dosa besar jika seorang pengarang tidak melakukan dekonstruksi," katanya.

Triyanto menambahkan bahwa hal mendasar dari itu semua adalah kesempatan dan kemauan kita dalam membaca dan menulis. Menurutnya itu adalah satu cara untuk mengekspresikan diri dan membuka peluang untuk menjadi abadi.

"Tanpa membaca yang bagus seseorang tidak akan memiliki ide dan gagasan untuk disampaikan kepada orang lain," sambungnya.

Sementara itu, Ketua Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan, Selamet Utomo, memaparkan pentingnya membaca dan menulis ini harus disadari publik. Ia kemudian memberi saran agar masyarakat bisa sedikit demi sedikit melatih ketekunan terhadap dua hal itu.

Mengutip cara dari Prof. Sudianta, ia menyarankan kepada audiens untuk mencatat seluruh aktivitas dan kegelisahan sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi. Selain itu, sebagai penyemangat ia memberi saran supaya menyisakan ide untuk diteruskan pada kesempatan menulis berikutnya.

"Saya dulu melakukan itu dan terbukti sangat membantu memang," katanya.

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Mila Raisa menyampaikan acara ini menjadi upaya untuk meningkatkan kesadaran berliterasi. Kata Mila, dengan berliterasi yaitu membaca dan menulis seseorang akan membuka jendela dunia. Orang itu juga berpeluang mendapatkan wawasan seluas tak terhingga. (M Farid/Zunus)