Daerah

Ketua Lakpesdam NU Kudus Kisahkan Tradisi Nenek Moyang Hadapi Gerhana

Kam, 27 Mei 2021 | 15:00 WIB

Ketua Lakpesdam NU Kudus Kisahkan Tradisi Nenek Moyang Hadapi Gerhana

Muhasabah dan Observasi Gerhana Bulan’ di Kudus disiarkan secara daring, pada Rabu (26/5). (Foto: Dok. Lakpesdam NU Kudus)

Kudus, NU Online
Ketua Lakpesdam NU Kudus H Nur Said mengatakan, tradisi gerhana pada zaman nenek moyang memiliki pengaruh bagi manusia dari masa ke masa. Pengaruh dari nenek moyang ini kemudian teraktualisasi dalam mitologi tradisi dan adat istiadat.


Nur Said mengungkapkan hal tersebut saat mengisi acara ‘Muhasabah dan Observasi Gerhana Bulan’ yang siarkan secara daring, pada Rabu (26/5) sore.


Masyarakat Jawa kuno, kata dia, ketika menghadapi gerhana memiliki berbagai macam tradisi. “Zaman dahulu jika ada gerhana, sebagian orang berlarian untuk memukul pepohonan dan hewan-hewan, termasuk ketika seseorang sedang hamil juga disentuh agar sadar,” ungkapnya.


Pengasuh Pesantren Riset Mahasiswa (Prisma) itu juga menjelaskan, budaya nenek moyang bisa dipengaruhi oleh konstruksi dari manusia itu sendiri.


“Karena keterbatasan dalam penerjemahan fenomena supranatural seperti gerhana bulan ini, maka melahirkan sebuah pola penerjemahan terhadap fenomena yang tidak bisa ditangkan oleh nalar mereka,” terangnya.


Hal itu, menurut dia, sebagai wujud ketidakmampuan masyarakat tertentu ketika melihat fenomena supranatural atau fenomena alam yang tidak mampu ditangkap dan dijelaskan. Oleh karenanya, muncul fenomena budaya Jawa kuno.


“Mereka berusaha mencari jalan keluar. Karena mereka menyadari fenomena gerhana sebagai kekuatan di luar kebiasaan,” tandasnya.


Ia menilai, fenomena budaya tidak dapat diterjemahkan sebagai sesuatu yang keluar dari Islam. Sebab, hal tersebut termasuk simbol penyampaian pesan.


“Dalam perspektif Islam, disarankan sholat gerhana sebagai wujud kesadaran transenden. Sedangkan kesadaran transenden orang Jawa ketika belum dikenalkan ritual ajaran syariat, maka wujudnya menyadarkan lingkungan sekitar,” terangnya.


Dosen IAIN Kudus ini mengungkapkan, orang Jawa kuno menyampaikan rahmatan lil ‘alamin dengan cara pribumisasi Islam. Setelah Islam masuk, ritual syariat Islam harus dilakukan. “Tapi, pesan bahwa kita harus ramah kepada lingkungan tetap harus dikembangkan,” ungkapnya.


Acara itu juga dihadiri oleh Direktur Ma’had Aly Madrasah TBS Kudus sekaligus Pengasuh Pesantren Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Kudus KH Ahmad Faiz, dan Ketua LFNU Kudus Azhar Lathif Nashiran.


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori