Jember, NU Online
Puasa sesungguhnya mengajarkan kebersambungan kesalehan antara bulan Ramadlan dan luar bulan Ramadlan. Karena itu, janganlah kesalehan yang luar biasa di bulan Ramadlan berhenti menyusul lebaran tiba. Qiyamul lail, tadarus, sedekah dan pengendalian hawa nafsu juga harus dilanjutkan di luar bulan Ramadlan.
Hal tersebut diungkapkan Katib Syuriyah PCNU Jember, Ustdaz Muhammad Nur Harisuddin saat menjadi khatib di masjid Al-Istiqamah, kampus Politeknik Negeri Jember, Rabu (6/7).
Menurutnya, kebersambungan kesalehan tersebut bahkan menjadi tolak ukur keberhasilan ibadah puasa Ramadhan. "Kalau puasa diibaratkan latihan, maka pasca Ramadhan, tentu hasil latihan itu bisa diterapkan bahkan ditingkatkan," ucapnya.
Selain itu, kata ustadz Haris, Ramadhan dan Idul Fiti juga mengajarkan manusia untuk menghindari gaya hidup konsumtif. Sangat relevan menegakkan puasa Ramadlan di tengah gencarnya kapitalisme global yang mengusung "paham" konsumerisme. Konsumerisme sebagai gaya hidup yang boros ini secara faktual ditopang oleh kehadiran materialisme dan hedonisme. Jika materialisme adalah aliran yang memuja benda dan berfokus pada benda, maka hedonisme adalah sebentuk gaya hidup yang menyandarkan kebahagiaan pada kenikmatan belaka.
"Puasa Ramadlan mempunyai tujuan besar: mengendalikan nafsu konsumerisme secara berlebihan. Dan mereka yang menang di hari yang fitri bukan yang banyak bergelimang barang konsumsi, melainkan mereka yang bertambah ketaatan dan ketaqwaannya," tukasnya.
Sementara itu, Wakil Sekretaris PCNU Jember, Ustadz Muchammad Eksan saat menjadi imam dan khatib di masjid Sunan Nur, Lingkungan Talangsari menegaskan bahwa ketaqwaan terdiri dari dua dimensi. Yaitu dimensi kemanusiaan dan dimensi ketuhanan. Kedua dimensi itu harus berjalan seiring. Tidak boleh hanya salah satunya yang dilakukan.
"Sebab, yang sebenar-benarnya taqwa itu adalah totalitas dari aspek kemanusiaan dan aspek ketuhanan sekaligus," jelasnya.
Pengasuh pesantren Nuris 2 Mangli, Kaliwates itu menyatakan bahwa pengejawantahan taqwa dari sisi kemanusian itu adalah gemar berbagai, bersedekah, menolong oran lain dan sebagainya. Namun demikian, dari sisi ketuhanan, taqwa itu adalah rajin beribadah, shalat, puasa dan sebagainya. Terkait dengan maaf, inilah sisi lain dari perwujudan taqwa. Katanya, salah dan benar adalah hal biasa, bahkan menjadi ciri khas makhluq yang bernama manusia. Manusia bukan malaikat yang benar terus. Tapi juga bukan syetan yang salah terus.
"Karena itu, momentum lebaran ini kita jadikan ajang saling memaafkan atas segala kesalahan dan dosa yang telah kita perbuat," ucapnya. (Aryudi A. Razaq/Fathoni)