Daerah

Istriku Memimpin Tahlilan, Bagaimana dengan Istrimu?

NU Online  ·  Ahad, 23 April 2017 | 13:03 WIB

Surakarta, NU Online
Setiap malam Jumat, tepatnya bakda Maghrib, di keluarga kecilku, selalu diadakan tahlil untuk para orang tua kami yang telah wafat. Tahlil malam ini dipimpin istriku, Lies Mukhlisoh.  .

Ibu bapakku (Mbah Ngis dan Mbah Dullah) telah lama wafat. Ayah mertuaku (Mbah Sodikin) wafat tahun lalu. Selain kedua orang tua, kami juga menahlilkan nenek-kakek, beberapa bibi dan paman termasuk Mbah Umar.

Malam ini (20/4) menjelang peringatan Hari Kartini besok pagi 21 April, kebetulan giliran istriku yang harus memimpin karena minggu lalu giliranku. Dia harus memimpin tahlil sekaligus doanya. Aku dan kedua anakku Muhammad Alan Nur dan Ahmad Danial Latief, yang semuanya cowok, hanya mengikuti bacaan tahlil istriku dan mengucapkan "Amin... amin..." ketika doa ia panjatkan. Kami biasa bergantian dalam memimpin ritual ini. 

Tidak hanya itu, kami juga biasa berbagi peran atau saling membantu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, menyapu dan sebagainya. 

Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah aku bagi dengan istriku, yakni peran sebagai imam shalat. Alasannya, karena shalat merupakan ibadah vertikal (mahdhah) yang di zaman Rasulullah SAW dan para sahabat tidak pernah ada contoh perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki. 

Berbeda dengan shalat, tahlil dalam pandanganku secara pribadi adalah ibadah sosial (mu'amalah) karena berkaitan dengan interaksi sosial dan kirim mengirim doa ampunan untuk orang lain yang sudah wafat (bahkan juga yang masih hidup). Karena bersifat sosial, maka berbagi peran antara laki-laki dan perempuan untuk memimpin ibadah yang oleh kelompok tertentu dianggap bid'ah ini, sangat dimungkinkan. (Muhammad Ishom/Abdullah Alawi)