Ibadah Kurban Momen Menyembelih Ego dan Kerakusan Pribadi
NU Online · Rabu, 21 Juli 2021 | 09:00 WIB
Helmi Abu Bakar
Kontributor
Banda Aceh, NU Online
Tahun ini pelaksanaan ibadah Idul Adha masih dalam masa pandemi Covid-19. Idul Adha identik dengan ibadah kurban yang diajarkan Nabi Ibrahim sangat kontekstual dengan situasi kita saat ini, yaitu sebagai simbol penyembelihan ego dan kerakusan pribadi.
"Ibadah kurban (mendekatkan diri) kepada Allah melalui penyembelih hewan-hewan tertentu, sangat erat kaitannya dengan dimensi sosial," ungkap Sekretaris PWNU Aceh, Tgk Asnawi M. Amin kepada NU Online melalui pesan WhatsApp, Rabu (21/7).
Tgk Asnawi menambahkan, ibadah kurban tidak berhenti sebatas penyembelihan hewan sebagai acara ritual saja, tetapi hewan yang disembelih akan menjadi "tunggangan" menuju surga, dan seterusnya.
Menurutnya, ada pesan terdalam dari praktik berkurban, yaitu agar manusia mampu mengendalikan egonya yang disimbolkan oleh binatang. Ego yang selalu ingin "menguasai" kehidupan manusia harus "disembelih". Jangan biarkan ego kita menguasai diri sehingga mengendalikan kehidupan kita.
"Kita sering berkali-kali berkurban namun esensinya belum kita realisasi dalam keseharian. Betapa banyak orang terjerumus nista karena menuruti egonya,” sambung putra kelahiran Pidie Jaya itu.
Secara psikologis, kata dia, ego adalah kekuatan dalam diri manusia yang cenderung menyukai pada kesenangan jasmani dan menuruti kehendak jahat (dosa). Dalam istilah psikologi sufi disebut nafs al-ammarah atau jiwa tirani.
Pria yang pernah menahkodai PW Ansor Aceh itu menambahkan, era pandemi Covid-19 dalam kondisi PPKM Darurat, ada beragam ego yang harus kita prioritaskan untuk "disembelih" termasuk ego menyebar berita hoaks.
"Diantara ego pandemi Covid-19 yang harus disembelih yakni ego untuk tidak menyebarkan berita-berita hoaks tentang Covid-19 yang membuat banyak orang resah," lanjutnya.
Apapun profesi kita, sambungnya, tidak seharusnya memproduksi, menyebarkan, dan memprovokasi berita-berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, baik secara keilmuan maupun etika bermasyarakat.
Lebih lanjut, Tgk Asnawi menambahkan, jika ada masyarakat tidak percaya Covid-19 dan tidak mau mengenakan masker, jangan membuat provokasi di ruang publik. Keyakinan itu adalah "binatang" yang perlu disembelih agar masyarakat tidak termakan oleh perilaku sembrono.
"Demikian juga jika ada berita yang bertentangan dengan pendapat mainstream, coba resapi, dalami, dan renungkan, apakah informasi itu sudah benar? Lakukan proses filtering informasi agar tidak kontraproduktif bagi lingkungan," ujarnya.
Menurutnya, ego lain yang harus disembelih adalah merasa paling benar, jika merasa sebagai orang yang mengerti agama, katakanlah tokoh agama, janganlah mudah menuduh orang lain, pihak lain atau pemerintah salah, dan menganggap pendapatnya paling benar terkait dalam penyikapan terhadap Covid-19.
“Ego merasa ‘paling’ adalah berhala atau binatang dalam diri kita yang harus disembelih," pungkasnya.
Kontributor: Helmi Abu Bakar
Editor: Aiz Luthfi
Terpopuler
1
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
2
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
3
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
4
Khutbah Jumat: Menjaga Keluarga dari Konten Negatif di Era Media Sosial
5
PCNU Kota Bandung Luncurkan Business Center, Bangun Kemandirian Ekonomi Umat
6
Rezeki dari Cara yang Haram, Masihkah Disebut Pemberian Allah?
Terkini
Lihat Semua