Temanggung, NU Online
Bahasa umpatan, makian, marahan, pisuhan, nesunan tidak bisa dianalisis dan dilihat secara kajian linguistik saja. Namun harus memahami etnografi, etnolinguistik, filologi, sosiolinguistik hingga psikolinguistik.
Demikian yang disampaikan Hamidulloh Ibda, dosen Bahasa Indonesia dan Khamim Saifuddin pengajar Sejarah Pemikiran dan Perkembang Nahdlatul Ulama. Keduanya tampil pada diskusi rakyat bertajuk Kajian Bahasa: Sikak, Sikem, Jidor, Thelo Ditinjau dari Berbagai Perspektif di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Temangggung, Jawa Tengah.
Kegiatan ini diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Trisula STAINU Temanggung Jumat (8/2)
Hamidulloh Ibda menjelaskan bahwa munculnya idiom kata sikak, thelo, sikem, jidor berasal dari petani tembakau yang ditindas oleh konspirasi global yang merugikan dan berpotensi mematikan tembakau sebagai mata pencarian utama warga Temanggung.
“Lantaran ditindas oleh WHO, pemerintah, munculnya kebijakan yang memarjinalkan tembakau dan kutukan terhadap tembakau, rokok,” katanya. Maka muncullah gerakan perlawanan berupa kesenian, ketoprak dengan drama yang menyindir, manifesto gerakan, demo, dan kata-kata perlawanan termasuk umpatan thelo, jidor, sikem, sikak, lanjutnya.
Selain itu, Ibda juga menjelaskan, petani juga melawan dengan membentuk organisasi seperti APTI. "Ada idiom ngrokok mati, ora ngrokok mati, mending ngrokok sampek mati,” ungkapnya. Di antara gerakan kultural kreatif itu salah satunya muncul idiom budaya berupa bahasa-bahasa umpatan itu, lanjutnya.
Kasar atau tidak sebuah bahasa bergantung sudut pandang. Umpatan memang diartikan sebagai kata, frasa atau kalimat kotor, jijik, jorok, tak patut diungkapkan. “Nah, biasanya identik dengan anggota badan seperti matamu, dengkulmu. Lalu kondisi kejiwaan manusia seperti gendeng, bento, stress dan lainnya,” jelasnya. Selain itu juga nama-nama hewan seperti asu, celeng, dan lainnya. Ada juga umpatan dari jenis pekerjaan hina manusia seperti lonte, perek, babu, dan lainnya, lanjutnya.
Menurut Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Pendidikan Ma'arif NU Jateng ini, dalam memahami kata umpatan tidak hanya cukup pada linguistiknya saja. "Berbahasa tidak hanya menggunakan pendekatan bahasa atau linguistik saja. Namun juga perlu sosiolinguistik,” kilahnya.
Untuk memahami ragam bahasa umpatan ini, kita perlu yang namanya register atau variasi bahasa berdasarkan penggunaannya yang dapat dilihat dari aspek pekerjaan, kelas sosial, dan daerah atau budaya tertentu. “Maksudnya, register ini adalah kunci untuk memahami bahasa yang diucapkan, kita tidak akan paham bahasa kaum kuli, sopir, kalau kita tidak kuli atau sopir,” katanya.
Maka memahami umpatan khas Temanggungan misalanya, harus melihatnya dengan banyak hal. “Yakni memahami emosi, tujuan dan kondisi psikis antara penutur dengan mitra tuturnya dengan setting budaya dan lokalitas Temanggung," tegasnya.
Kaprodi PGMI STAINU Temanggung tersebut mengingatkan bahwa dalam Islam tidak boleh berkata kasar secara terang-terangan kecuali dalam kondisi teraniaya atau dizalimi. "Kan kita dalam Islam dianjurkan mengucapkan kalimat tayibah, tapi kalau kita dianiaya boleh mengumpat,” katanya.
Masalahnya, teraniaya atau tidak, dan kadar teraniaya tiap orang ini berbeda. “Emosi manusia mempunyai tingkatan yang berbeda. Ketika kita ditindas kok tidak kuat melafazkan kalimat tayyibah, mulai dari subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, allahu akbar, ya langsung saja bilang jancuk, sikak, telo," kelakarnya yang membuat peserta tertawa lepas.
Jadi ketika dijotos, ditipu, ditindas orang sekali saja kok sudah merasa dianiaya atau dizalimi, kata Ibda, kalau tak kuat mengucapkan kalimat tayyibah, ya langsung saja bilang sikak.
Selain bertujuan melawan kejahatan, penanda keakraban, menurut Ibda, umpatan itu muncul karena spontanitas, hasil kebudayaan dari tiap daerah. "Contoh lain di Temanggung kata celes itu penghalusan dari kata celeng. Asem penghalusan dari kata asu. Sikem penghalusan kata sikak yang diartikan bulu di alat kelamin manusia," bebernya.
Sementara itu, Khamim Saifuddin memandang umpatan itu dari perspektif sosial budaya. Hal tersebut sama dengan budaya menulis Arab pegon oleh ulama. “Arab pegon adalah bukti perlawanan kepada Belanda yang mendominasi pengetahuan, sekolah, bahkan politik saat itu. Artinya, makna substansinya hal ini lebih kepada umpatan yang digunakan untuk melawan," kata dia.
Dari diskusi ini, hasilnya berupa mempertahankan bahasa lokal sebagai kekayaan budaya Temanggung yang dapat diungkapkan sesuai kode budaya tertentu. (Dheta Ari Salsabila/Ibnu Nawawi)